“Ayo masuk.”
“Nggak.”
“Katanya mau akur?”
Zua menganggukkan kepalanya kemudian menggeleng. “Salah satu dari mereka itu ada yang tahu dan ikutan nyalahin aku. Jadi kamu aja yang masuk, aku di luar.”
“Gue yakin mereka udah nggak inget sama kejadian itu. Bersikap kayak biasa aja, nggak perlu berlebihan,” ujar Egi.
Mereka berdua kini tengah berada di kafe dekat sekolah, tempat beberapa hari lalu dimana dirinya tiba-tiba didatangi oleh Saras. Dengan baju sekolah yang masih melekat, dua remaja itu berniat mencari bukti untuk diberikan pada Raga.
Egi hanya agar bisa membantu dirinya saja. Walaupun Zua harus bersusah payah untuk membujuk laki-laki itu, tapi akhirnya Egi menerima ajakannya meski raut wajahnya yang kentara akan rasa kesal. Dia mengerti, bahwa Egi bukan tidak mau membantunya, tapi ini menyangkut Raga, laki-laki yang dibenci oleh Egi.
“Emang berlebihan untuk aku yang baru pertama kalinya ngerasain kejadian itu ... kamu mikir nggak sih bicara gitu? Jangan samain aku, sama mereka yang kuat mentalnya.” Zua menarik napasnya pelan dan memperbaiki kursi yang ia duduki di depan cafe ini.
“Aku malu, takut mereka bilang yang nggak-nggak lagi. Kalau kamu nggak mau bantu, ya udah jangan. Semua sia-sia aja buat kamu, kan? Ntar aku ngerugiin kamu. Pulang duluan aja, Gi. Aku nunggu di sini aja sampai kafe ini sepi,” lanjut Zua dengan nada bicara yang terkesan dingin.
Mana mungkin dirinya membiarkan Zua sendirian, Egi merutuki dirinya sendiri yang salah mengucapkan kalimat yang memang terasa menohok hati.
Dia mengusap wajahnya kasar lalu menatap Zua lekat dan berucap, “Maaf, gue salah ngomong. Tapi, gue bicara bener soal lo bersikap biasa, orang-orang nggak kenal sama lo, Zua. Lo pake masker yang artinya mulut sama hidung lo itu nggak mudah buat orang kenalin lo.”
Sang empu menganggut-anggutkan kepalanya. “uhm, tahu kok. Aku milih buat nunggu aja kalo gitu. Kamu boleh pergi, tinggalin aku di sini.”
“Oke, biar gue yang masuk sendiri. Tugasnya gimana?” Egi bangkit dari kursi.
Zua ikut bangkit mendekat dan membisikan sesuatu pada Egi, laki-laki itu diam beberapa saat sebelum akhirnya masuk ke dalam meninggalkan dirinya di luar.
Anggap saja ini sebagai ganti rasa kecewanya pada Egi. Karena tujuan dia kali ini untuk membuktikan pada Raga bahwa dia tak bersalah soal luka Saras, walau Zua tahu itu hanya luka bohongan pun. Setidaknya pacarnya tidak menyalahkannya lagi, dan berpikir lagi tentang rasa cinta Raga pada perempuan itu.
Dia benci ketika ada orang yang menyalahkan dirinya tanpa bukti seperti itu, tapi bukan pada orangnya, melainkan pada sikap mereka yang percaya begitu saja tanpa mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.
Bahkan ketika dirinya merasakan hal itu terjadi padanya, sungguh ucapan mereka kala itu membuat dia merasa dirinya adalah orang yang paling salah. Terkadang hal seperti itu saja bisa jadi pengalaman yang akan jadi pelajaran hidup ke depannya lagi.
Langit mulai menunjukan warna orennya, dia tak perlu khawatir kalau sang Ayah atau Teguh akan memarahi dirinya karena Zua sudah memberi kabar terlebih dahulu pada mereka.
“Maaf, Zua.” Egi menggeleng pelan lalu duduk di kursi tadi yang ditempati.
Zua menghembuskan napasnya kasar kala mengerti arah pembicaraan Egi. “Nggak dapet, Gi? Udah kehapus apa emang gak ada cctv?”
Bagaimana dia bisa membuktikan pada Raga kalau tak ada bukti.
“Percaya aja lu. Nih ada, gue salin ke flashdisk.” Laki-laki itu menyimpan sebuah benda kecil ke atas meja. “Bilang apa?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny (Complete)✔
Teen FictionBEBERAPA PART DIPRIVATE, FOLLOW TERLEBIH DAHULU ••• Bagi Zua, patah hati adalah luka yang disengaja atau konsekuensi saat jatuh cinta. Tahu rasanya seperti apa, karena akhir-akhir ini takdir membuatnya merasakan. Saat Raga berstatus pacar, akan teta...