Part 38

2K 75 0
                                    

Sudah hampir satu jam lebih Raga menunggu Zua yang tak kunjung kembali. Bel istirahat sudah berakhir sejak dua puluh lima menit yang lalu. Raga berlari menuju toilet perempuan. Ada yang tidak beres. Dari luar dia mendengar suara air, tak lama kemudian seorang siswi berbaju olahraga keluar dengan raut terkejut melihat kehadirannya.

"Sorry, di dalem lo lihat Zua?"

Siswi itu mengernyit, merasa asing dengan nama itu. "Zua ... siapa?"

"Zua Ayu Shavira, kelas sebelas." Nama gadis itu padahal hanya ada satu di sekolahnya.

"Yang sering sama Egi itu, ya? Di dalem nggak ada siapa-siapa, gue masuk aja pintu kamar mandi kebuka semua."

Perasaan khawatir hinggap di dirinya. Raga mengangguk lalu berlalu tanpa mengucapkan apa-apa. Langkah lebarnya membawa ia ke arah kelas sebelum akhirnya dua pria berbadan besar menghadang Raga.

"Minggir, gue gak ada urusan sama kalian."

Namun, permintaannya sama sekali tidak diindahkan. Dua pria itu menarik Raga dengan kasar karena dia memberontak.

"Lepas!"

"Gue bilang lepas!"

Badannya didorong secara paksa memasuki sebuah mobil, dia mengernyit tatkala tasnya ada di dalam mobil itu. Raga menarik rambutnya kasar, dua pria ini duduk dengan mengapit dirinya di tengah-tengah.

"Mau lo apa?!"

Bagaimana dengan Zua? Raga takut hal buruk terjadi pada gadis itu. Bertanya pada dua pria ini rasanya sia-sia saja sampai suaranya habis pun, seolah mereka bisu.

Seingatnya, Raga tak pernah mencari masalah pada siapapun. Terkecuali masalahnya dengan Egi. Pikirannya tiba-tiba tertuju pada satu orang, Mamanya. Apa mungkin? Ya. Raga yakin kedua orang ini adalah suruhan sang Mama.

Raga berdecih. Masalah apa lagi? batinnya bertanya.

____

Sontak saja ucapan Egi membuat Zua mematung seketika. Apakah maksud perkataan laki-laki itu, dia memilih mati?

Yang benar saja. Zua tak akan pernah membiarkan hal itu terjadi.

Egi kembali tertawa, berbeda dengan hatinya yang terluka. "Gak perlu jauh-jauh, gue gak bakal sakitin orang yang gue sayang. Tetep berdiri di situ, yang bakalan mati 'kan gue, bukan lo."

Laki-laki itu mengarahkan pisau tajam ke arah dadanya sendiri lalu menepukkannya, tak peduli akan terluka atau tidak. "Di sini ... ada yang patah. Rasanya nggak enak kalau harus mendem terus semuanya, gue butuh bahu buat bersandar. Zua? Selama ini gue hidup sendirian, Ayah dan ibu gue milih cerai. Sedangkan gue? Nggak ada yang butuh kehadiran gue, termasuk lo. Sebenarnya dari lama, sampai akhirnya gue nekat susun semua rencana buat milikin lo. Seneng 'kan kalau sumber masalah di hidup lo jadi berkurang?"

Zua menggeleng keras, gadis itu tak sadar mengeluarkan cairan asin yang mulai membasahi pipinya. Langkahnya pelan mendekat ke arah laki-laki itu. Setengah mati dirinya mencoba menahan rasa takutnya. "J-jangan bilang kayak gitu, Gi. Aku nggak suka."

Sejahat apapun dulu Egi memperlakukannya, Zua ikhlaskan. Karena kematian tak akan menebus semua luka yang telah Zua dapatkan, yang ada ia akan menyalahkan dirinya sendiri.

"Lo emang nggak suka sama gue, hati lo nggak bisa nyangkal itu. Apa kelebihan Raga yang bisa milikin hati lo itu? Kasih tahu gue, biar gue coba caranya." Tersirat nada putus asa dan Zua mendengarnya secara jelas. “Apa, Zua?”

Di tengah air mata yang membasahi pipi Zua, dia tersenyum kecil. "Cukup jadi diri sendiri, kamu nggak perlu jadi orang lain buat milikin aku. Cinta kamu bukan buat aku, aku yakin suatu saat nanti ... Tuhan bakal temuin kamu sama cewek yang lebih beruntung bisa dapetin kamu. Dan itu bukan aku, Egi."

"Mau ikutan mati? He?" tanya Egi saat matanya menangkap langkah kaki Zua yang terus mendekat. Penampilan Egi begitu berantakan, kemeja putihnya tak beraturan, dasinya hanya menggantung, lengan baju yang dilipat, dua kancingnya terbuka dan netra yang memerah.

"Silahkan bunuh aku aja, daripada aku yang harus lihat nyawa kamu melayang," jawab Zua acuh tak acuh.

Egi menendang kursi di sampingnya. "Sialan! Mau lo apa?! Kenapa lo nyuruh gue hidup, saat lo sendiri mau gue mati?!" teriak Egi, tangan kanannya menggenggam gagang pisau itu begitu erat.

Dengan gerakan cepat, Zua berlari menubrukan badannya pada Egu. Manik mata yang basah itu semakin memerah menahan amarah. Dia mengambil alih pisau itu lalu melemparnya ke sembarang arah. "Aku tahu kamu cinta sama aku, Gi! Tapi, jangan pertaruhin nyawa kamu! Aku ... aku nggak mau kamu kayak gini."

"Bukannya lo bahagia ya?"

"Bodoh!" Zua mendaratkan tangannya pada pipi tirus Egi hingga kepalanya ikut tertoleh ke samping.

"Cinta ya cinta, jangan kayak gini juga!" sentak Zua keras, "Kamu berubah, kemana Egi yang dulu? Ha!"

Tak sadar sudut mata laki-laki itu mengeluarkan setetes air mata. Dia memejamkan matanya, membiarkan Zua memeluk dirinya tanpa balasan sedikit pun.

Kenapa cinta harus datang di waktu yang salah? Egi hanya ingin memiliki Zua.

"Egi yang dulu udah mati." Suara beratnya kini bercampur serak.

Zua masih setia melingkarkan tangannya di badan tegap siswa itu, dia merindukan sahabatnya yang dulu. Sungguh. Zua merasa telah menjadi sahabat yang paling buruk membiarkan Egi dalam kesusahan. Bahkan dulu setiap kali Egi mengajaknya ke rumah, Zua selalu menolaknya mentah-mentah. Pernah dulu saat mereka masih smp itupun hanya sekali-kalinya.

"Aku tahu kamu cinta sama aku, tapi nggak harus kayak gitu. Kalau kita nggak bisa saling memiliki, kita masih bisa sahabatan. Lagi pula ... kalau aku ditakdirkan buat kamu, suatu saat kita pasti dipersatukan oleh Tuhan."

"Segitu gak pantesnya gue milikin lo, ya?"

"Cukup, Gi. Aku mohon berhenti bilang kamu nggak pantes. Berhenti."

Egi mengulurkan tangannya membalas pelukan Zua. Kepalanya ia tenggelamkan di leher gadis itu, Egi mencium aroma tubuh orang yang berada dalam dekapannya rakus. Tuhan bisa saja tak membuat Egi berada di posisi seperti ini untuk kedua kali. Maka biarkan ia menyalurkan perasaannya sekarang.

"Maaf. Gue minta maaf," lirih Egi, "Gue cape, Zua. Gue bener-bener cape sama hidup gue sendiri. Apa yang perlu gue pertahanin sekarang? Bahkan lo sendiri milih Raga dibanding gue."

Zua mengurai pelukannya, dia menatap manik tajam memerah miliki Egi. Sembari tersenyum dia mengusap wajah laki-laki itu lembut. "Jangan kayak tadi, Gi. Aku ... takut kehilangan kamu. Kamu sahabat aku. Masih ada aku yang akan selalu ada buat kamu, aku janji bakal denger cerita hari-hari kamu yang aku lewatin. Sama sekali nggak akan pernah bosen, Gi."

"Kita masih sahabat, 'kan Zua?" Laki-laki itu terkekeh. Merasa lucu akan kondisi muka gadis di depannya yang terlihat mengenaskan setelah menangis. Pantaskan dirinya jadi sahabat Zua lagi?

Gadis itu mengangguk tegas sebagai jawaban.

Egi kembali menarik Zua ke dalam dekapannya. Dagunya ia simpan di atas kepala Zua yang lebih pendek darinya. "Sebentar lagi, Zua. Gue minta jangan dulu dilepas."

Mengikhlaskan.

Ya. Egi memilih ikhlas sekarang. Ia tahu. Lebih tepatnya sepenuhnya sadar bahwa cinta tak harus memiliki. Rasa yang telah ada selama bertahun-tahun biar ia relakan. Memang tak mudah, namun Egi akan mencobanya. Mungkin saja ini adalah pelajaran dari Tuhan yang akan jadi pengalaman bagi dirinya.

Nama Zua yang telah masuk ke dalam relung hatinya biar jadi kenangan terbaik yang tak akan pernah ia lupa. Perihal rasa dia tak akan memaksanya agar jadi milik Egi. Berat. Tak akan mudah ia lewati, apalagi Zua sahabatnya. Ingin rasanya dia tertawa pada dirinya sendiri. Menertawakan tindakan bodoh hanya karena obsesinya untuk balasan rasa dari Zua.

Mungkin, kembali memendam perasaannya sendiri adalah tindakan terbaik.

Destiny (Complete)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang