"Menurut kalian gimana?"
Tiga gadis yang duduk di depan seorang siswi itu mengernyit bingung. Mereka tak mengerti apa yang dimaksud olehnya.
"Gue gak ngerti," sahut seorang siswi berambut sedikit pirang. Perempuan yang lain mengangguk, menyetujui.
Saras berdecak sebal, dia menyimpan handphone nya tepat di depan mereka.
"Lo-"
"Yap, gimana? Gue udah cocok sama dia, kan?" Saras menyela ucapan temannya. Wajahnya terlihat begitu bersemangat, bahkan gadis itu tersenyum sangat manis.
Mereka mengangguk seraya tertawa, begitupun juga Saras.
"Parah lo, Sar. Pacar orang lo embat." Gadis berambut gelombang yang duduknya paling dekat dengan Saras menggeleng, namun terus tertawa.
Zua yang berada tak jauh dari mereka menghela napas berat. Berjalan cepat ke arah empat siswi itu. Saat sudah tepat berada diantara mereka, dia mengambil handphone Saras. Menatap layar yang menunjukan sebuah photo, dimana Saras tengah mencium Raga, dan laki-laki itu merangkul mesra seraya tersenyum.
Zua mengepalkan tangannya, dia benci melihat kedekatan Saras. Selama ini dia membiarkan Saras semaunya, kini semua sudah cukup. Dia tak mau lagi diam.
Perbuatan Zua membuat keadaan hening, sementara Saras menyeringai lalu tertawa.
Zua terdiam, dia menatap perempuan yang masih duduk kemudian melirik benda di tangannya. Zua tersenyum kecil, tak lama dirinya menjatuhkan handphone Saras ke lantai, setelah itu dia menginjak menggunakan sepatu yang dipakainya beberapa kali hingga tak berbentuk, semuanya hancur berantakan.
Dalam beberapa detik saja Saras melotot tak percaya melihat apa yang dilakukan Zua. Secara reflek tangannya melayang, namun Zua lebih cepat menyentak tangan Saras kasar.
Tiga teman Saras mundur, pergi menjauh, sebelum itu salah satu dari mereka berucap, "Sorry, Sar. Kita nggak mau ikut campur masalah kalian."
"Masih nggak punya harga diri, ya? Dia pacar aku! Dan kamu deket-deket sama dia saat dia masih punya status. Nggak malu? Oh, cewek modelan kamu emang nggak punya malu."
Saras menarik rambut Zua, emosinya sudah tidak bisa ditahan, bahkan dia tak memperdulikan siswa siswi yang menonton mereka berdua. "Gue punya hak. Jadi nggak usah nasehatin gue! Ngerti, ha?!"
Sang empu tertawa yang disertai ringisan. "Hak apa?"
"Lo gak perlu tahu!" Bagi Saras perkataan Zua seolah menghinanya, dia melepaskan tangannya secara kasar. "Nyatanya Raga lebih mentingin gue, bahkan dia milih makan malam di rumah gue dibandingkan harus datang ke rumah lo. Yang nggak punya harga diri itu lo sendiri Zua, bukan gue. Udah tahu Raga milih gue ... kenapa lo masih bertahan?"
"Seenggaknya posisi aku nggak sampe ngerugiin orang lain," ucap Zua sedikit serak. Napasnya terasa sesak, tangannya mengepal, matanya pun berembun. "Mau seberharga apapun kamu di mata Raga, tetep aja sebagai orang ketiga itu memalukan. Ibaratnya orang ngambil barang tanpa diketahui oleh si pemilik, dan dia bangga-banggain barang itu. Sama aja, kan? Pencuri nggak bermodal, dia nggak modal uang, sedangkan kamu nggak modal perjuangan kayak aku."
Plakk
Zua meringis, kepalanya sampai tertoleh ke samping, dia yakin pipinya sudah memerah, karena dia merasakan panas yang menjalar.
"Mu-"
"Saras! Ikut ibu ke ruang bk sekarang!" Mereka berdua melirik sumber suara. Beberapa meter darinya seorang guru bk tengah berdiri. Zua tersenyum kecil ketika guru itu menyeret Saras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny (Complete)✔
Teen FictionBEBERAPA PART DIPRIVATE, FOLLOW TERLEBIH DAHULU ••• Bagi Zua, patah hati adalah luka yang disengaja atau konsekuensi saat jatuh cinta. Tahu rasanya seperti apa, karena akhir-akhir ini takdir membuatnya merasakan. Saat Raga berstatus pacar, akan teta...