"Teguh ikut, kakak, ya?" Laki-laki itu sudah siap dengan trening hitam dan kaos hitam yang sampai lengan.
Zua menahan diri untuk tidak tertawa, dia menatap lamat-lamat penampilan adiknya ini. "Mau kemana, dek?"
Teguh menarik handphone miliknya sendiri yang berada diatas meja. Dengan bersemangat dia berjalan terlebih dahulu. "Ya mau ikut kakak lari pagi," ujarnya.
"Dek!"
"Ayo, Kak! Keburu siang ini." Teguh menampakan kepalanya di balik pintu keluar.
Tawa Zua sontak saja lepas, sang Adik yang tidak tahu apa-apa balik menghampiri Zua dengan kebingungan.
"Kamu mau lari apa mau ke kuburan, dek?" Bukan tanpa sebab dia tertawa, hanya saja penampilan Adiknya ini yang serba hitam lebih terlihat seperti akan bepergian ke kuburan daripada berkeliling mengitari perumahan disekitarnya.
Teguh melepaskan sepatu lalu menentengnya. Dia berdiri beberapa meter dari sang Kakak. "Bilang aja malu kalau kakak nggak mau jalan sama aku. Gak jadi ikut, aku udah nggak mood. Kakak bisa pergi sendiri aja." laki-laki itu berjalan ke arah rak sepatu yang tak jauh dari dapur.
Zua bangkit kemudian sedikit berlari. Seraya menarik kaos belakang Teguh dari belakang, perempuan itu berujar, "Kok gitu aja marah? Mood kamu kayak cewek, dek. Ayo jalan, kita berdua doang. Kakak nggak ada temen lari soalnya."
Teguh masih terlihat kesal, tak urung memakai sepatunya kembali. Penampilannya menurut dia sendiri, terlihat lebih ganteng dari biasanya.
Apalagi tinggi dia yang hampir menyamai laki-laki yang umurnya sekitar delapan belas tahunan. Walaupun dirinya setuju juga akan komentar sang Kakak.
Seiring berjalannya waktu mereka mulai berlari. Mengikuti gerak kaki yang sedikit cepat menyusuri jalan-jalan perumahan itu. Tidak hanya mereka berdua saja, jalanan yang biasanya sepi akan orang-orang, kini dipenuhi oleh remaja yang umurnya tidak jauh diatas dan dibawah mereka.
Hingga lama-kelamaan berlari, Zua berhenti, menyimpan tangan diatas lutut sebagai tumpuan tubuhnya. Mengatur napas yang tersendat-sendat. "Kakak di kursi taman, jangan pulang duluan."
Dia mengangguk. "Teguh keliling lagi, sekalian cari Devia. Semalam ditelpon, dia juga mau lari pagi katanya." Laki-laki itu kemudian melanjutkan larinya. Rambut yang awalnya tertata rapi kini sudah acak-acakan karena tertiup angin. Orang-orang pasti mengira dia adalah pacarnya, padahal kenyataannya Teguh itu adalah adiknya.
Dia mengusap keringat di dahi lalu beralih mengurut betisnya yang terasa pegal. Rambut sebahunya sengaja ia gelung. Keadaannya yang sekarang membuat dia lupa akan masalahnya.
Zua mendongak, kala merasakan kepalanya terasa dingin. Dia menatap sebuah botol air putih dingin, lalu beralih pada tangan kekar yang memegang botol itu.
"Kita nggak ada urusan lagi, aku udah bilang, kan?" Dirinya hendak bangkit, namun laki-laki itu malah berdiri di depannya dengan merentangkan tangan yang membuatnya kembali duduk.
"Tumben marah lo lama banget, Zua. Lo mau persahabatan kita hancur?" Egi mendumel dengan kedua tangan berada di pundak perempuan yang lebih pendek.
"Emang udah hancur berantakan. Nggak perlu saling kenal lagi, cukup urusin diri masing-masing dari sekarang." Dia menjaga jarak saat Egi ikut duduk di satu kursi besi yang sama. Perempuan itu begitu kentara sedang menjauhi Egi, bahkan secara terang-terangan. "Nggak ada kerjaan lain apa? Selain ganggu dan teror aku cuman karena mau bilang maaf?."
"Makanya maafin gue. Yang gue lakukan emang salah di mata lo, tapi di mata gue ini jalan terbaik buat lo." Egi mendorong botol minum itu menggunakan jari. Dia menatap ke depan yang menghadap ke sekumpulan anak-anak. "Gue masih belum bisa jelasin. Gue belum siap lihat perubahan lo nanti kalau nanti lo tahu apa yang bikin semua ini terjadi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny (Complete)✔
Teen FictionBEBERAPA PART DIPRIVATE, FOLLOW TERLEBIH DAHULU ••• Bagi Zua, patah hati adalah luka yang disengaja atau konsekuensi saat jatuh cinta. Tahu rasanya seperti apa, karena akhir-akhir ini takdir membuatnya merasakan. Saat Raga berstatus pacar, akan teta...