Arloji hitam yang melingkar pada tangan Egi menunjukkan pukul sebelas. Ia semakin menaikkan gas motor dengan Zua yang memeluk perutnya semakin erat. Tepat di depan rumah Raga dia berhenti. Memarkirkan motornya di depan gerbang tinggi yang tertutup.
“Permisi!” Zua terus saja memanggil-manggil dengan suara keras karena tak ada jawaban. Tak butuh waktu lama, mereka berdua melihat seorang wanita paruhbaya berpakaian pelayan menghampiri ke arah mereka, membuat Zua langsung bertanya akan tujuannya, “Raga pulang ke sini ya, Bi?”
“Iya, den Raga pulang sama bodyguardnya yang terus megangin badannya biar nggak kabur,” jawabnya seraya sedikit membukakan gerbang.
“Bodyguard?” beonya pelan. Dahi Zua begitu pula Egi yang di belakangnya mengernyit. Mereka mengira Raga hanya sekadar membolos, karena tak kunjung menemukan keberadaan Raga di sekolah. “Sekarang ada di kamarnya ya?”
Kepalanya menggeleng, raut muka wanita itu langsung berubah. “Den Raga ke bandara, Non. Nggak sengaja bibi denger Bundanya, kalau den Raga akan pindah ke Singapura.”
Pupil mata Zua membelalak sempurna, sementara Egi terkesiap, namun tak urung dia diam. Apa katanya, Singapura? Siapa pun bilang pada Zua, itu hanyalah omong kosong.
“P-pindah? B-bibi ... bercanda?” tanyanya tak percaya.
“Beberapa menit lalu mereka pergi, tapi bibi yakin den Raga belum jauh dari sini.”
Zua menatap wanita paruhbaya itu dengan berkaca-kaca. Egi menghela napas berat, dia menarik Zua menaiki motor. “Kita ikutin mereka, Zua.”
Diam-diam laki-laki itu melirik ke arah spion motor, menampilkan wajah sahabatnya yang terus saja menangis dalam diam membuatnya semakin sakit. Apalagi alasannya Raga. Tetapi, dia tetap pada pendiriannya sekarang. Egi mengusap tangan Zua yang berada di perutnya lembut. “Jangan nangis. Gue gak bisa lihat lo kayak gini.”
Seberapa besar pun usaha Zua untuk berhenti menangis, ia tak bisa melakukannya. Air matanya terus saja berlomba-lomba untuk keluar. Bahkan Zua tidak peduli diperhatikan oleh pengendara motor lain heran. Entah waktu, wajah atau seragam sekolahnya yang jadi sorotan.
Atensi Zua tiba-tiba teralihkan pada sebuah mobil di depan, yang jelas-jelas itu milik Mamanya Raga. Spekulasinya tidak akan salah, mengingat sudah sering memperhatikannya.
Zua mengusap air matanya secara kasar, tangan kirinya menunjuk ke arah depan. Tak ingin membuang-buang waktu, dengan suara serak Zua berseru, “Egi, ikutin mobil hitam itu!”
-——-
“Apa nggak bisa Raga tetap di sini, Ma?” Raga bersandar di headboard, matanya terpejam. Seragam sekolahnya masih melekat di tubuh laki-laki itu. Ini bukan pilihannya untuk ikut. Permintaan dari orangtuanya begitu keras hingga Raga tak bisa menolak. Padahal alasannya dia bahagia ada di sini. Ajakan untuk balikan pun belum terjawab.
“Nggak. Kamu tahu 'kan kalau permintaan Mama nggak suka ditolak?” Tari yang berada di sampingnya balik bertanya. Sedangkan, Ayahnya duduk di depan dengan sopir yang mengendarai.
“Mama benar, Raga. Kamu harus tinggal sekalian kuliah di Singapura. Jangan buat kerja keras Ayah selama ini jadi sia-sia,” sahut Dev dengan tegas.
“Ma.” Raga melirik malas. “Aku masih kelas sebelas. Kuliah aku masih lama. Kenapa nggak kasih aku waktu buat tinggal di sini? Seenggaknya sampai lulus sekolah.”
Mobil itu berhenti tepat di bandara. Mereka lantas keluar tanpa menghiraukan Raga. Sang sopir berjalan di belakang mereka seraya menggeret dua koper hitam. Dengan langkah berat, Raga hanya bisa mengikuti orang tuanya. Beberapa menit lagi pesawat akan lepas landas. Dan dia ... akan berada jauh dari jangkauan Zua. Jarak akan memisahkannya, sementara Raga belum sempat berpamitan dengan gadis itu.
“Nggak bisa diundur perg—”
“Raga!”
Merasa terpanggil, laki-laki itu menoleh ke arah sumber suara. Beberapa meter dari Raga, Zua tengah berlari menghampirinya dengan penampilan berantakan. Seakan tidak percaya, Raga melirik ke arah Mamanya yang terperangah, tatapannya sama-sama tertuju pada Zua.
Ketika sudah dekat Zua berhambur ke pelukan Raga hingga membuatnya sedikit terhuyung ke belakang. Tangan gadis itu melingkar erat. Raga membalas pelukan Zua seraya menghujami ciuman pada surai hitam milik Zua. Dapat dia dengar napas terengah dari gadis yang berada di pelukannya. Jantungnya tak kalah berdetak dengan cepat.
Kemeja sekolah Raga bagian dadanya terasa basah bersamaan dengan tubuh Zua yang bergetar. “Jangan pergi. Aku mohon sama kamu jangan pergi.”
Berbeda dengan Egi yang sedari tadi hanya berdiam diri di dekat motor. Dia tak menatap ke arah pasangan itu, karena sesak di dadanya selalu terasa.
Raga memejamkan matanya, tangannya yang berada di belakang tubuh Zua terkepal. Tenggorokannya tercekat, dia berujar tepat di samping telinga Zua. “Aku minta maaf, aku nggak bisa bantah orang tua aku.”
“A-aku ... gimana?” pertanyaan Zua yang terendam isak tangis masih mampu Raga dengar.
“Maaf ....”
Raga membiarkan tangan Zua memukul dadanya. Gadis itu mendongak, menatap Raga dengan mata yang memerah dan basah. “Kamu mau tinggalin aku, setelah aku mau bilang iya soal ajakan kamu?”
Spontan Raga membuka matanya lebar-lebar, dia dibuat terdiam mendengar hal itu. “A-apa?”
“Kita balikan.” Zua meremas baju Raga, tangisan gadis itu masih tidak mau berhenti mengalir.
Senyum Raga merekah, dia kembali memeluk Zua erat. Tidak bisa dipungkiri dia senang bukan main.
“Tunggu aku lulus kuliah, Zua. Aku akan langsung lamar kamu. Aku janji.”
“K-kamu b-bercanda?” Zua terkekeh di sela-sela tangisnya. “Kamu kira kuliah itu waktu yang singkat, huh?”
Raga mengakiri pelukan itu, kedua tangannya berada di bahu Zua. Manik matanya menatap lurus tepat pada wajah Zua. “Kamu rag—”
“Ayo pergi Raga!” Suara Tari yang sarat akan ketidaksukaan terdengar. Raga menghela napas gusar. “Kasih aku beberapa menit buat bicara, Ma. Sebentar aja, Mama bisa duluan pergi ke kursi tunggu, aku nyusul nanti.”
Dari belakang Tari menggeram. “Perhatiin Raga, jangan sampai dia kabur,” perintahnya seraya berlalu dengan suaminya yang mengambil satu koper yang digeret oleh Tari.
“Tunggu aku, Zua. Aku nggak akan bohong. Jangan ragu. Nggak apa-apa 'kan kalau kita ldr?”
“Gimana aku nggak ragu, ayah aku sama keluarga kamu aja nggak nerima kita punya hubungan. Aku takut ... perempuan di sana ngambil kamu dari aku. Aku takut ....”
Raga menggenggam kedua tangan Zua lembut, tatapannya menyiratkan akan keseriusan yang mendalam. “Percaya sama aku, Zua. Kita bisa lewatin beberapa tahun itu dengan mudah. Jarak yang misahin, bukan putus hubungan. Bisa 'kan tunggu aku?”
Zua akhirnya mengangguk lalu kembali memeluk Raga. Merasa begitu takut kehilangan. Bukan tak mungkin. Berada satu negara saja hubungannya dengan Raga berjalan rumit. Apalagi berbeda negara.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny (Complete)✔
Teen FictionBEBERAPA PART DIPRIVATE, FOLLOW TERLEBIH DAHULU ••• Bagi Zua, patah hati adalah luka yang disengaja atau konsekuensi saat jatuh cinta. Tahu rasanya seperti apa, karena akhir-akhir ini takdir membuatnya merasakan. Saat Raga berstatus pacar, akan teta...