“Nggak usah ngomong gitu! Kamu tahu hubungan kita udah lama terjalin, terus kamu mau putus? Alasannya karena apa, ha? Karena aku deket sama Saras? Atau karena masalah salah paham yang kemarin?” Raga menunduk menatap tajam mata Zua.“Atau karena Egi yang pengaruhin kamu?” tanya nya lagi dengan nada rendah.
“Kalau ngomong itu dijaga, ya! Aku mau kita putus karena hubungan kita cuman sebatas status, Raga! Nggak lebih, kan? Jadi buat apa aku pertahanin hubungan yang nggak jelas ini. Orang sabar juga akhirnya bakal ada yang lebih milih mundur, karena semua ada batasnya. Sama halnya aku pertahanin kamu, sebab aku cape harus terus-terusan sabar.” jelas Zua
“Kita nggak akan putus!” Raga menarik rambutnya frustasi. “Kalau aku tahu niat kita ketemu karena kamu minta putus, aku nggak akan kesini. Hargain ... usaha aku perjuangin kamu.”
Yang selama ini berjuang pertahanin hubungan itu siapa, Ga? Aku apa kamu? tanya gadis itu dalam hati.
Raga memejamkan matanya lalu menatap pacarnya yang tidak berani menatap balik dirinya, dengan sekali tarikan Zua sudah berada tepat di pelukan laki-laki itu.
Telinga Zua masih berpungsi, mendengar jelas napas Raga yang memburu. Begitupun tangan laki-laki itu melingkar erat. Dan jantung yang berpacu begitu cepat. Dia tak membalas pelukan Raga.
“Kamu jangan ngomong ngaco lagi.”
Justru Zua seperti ini karenanya.
“Apa perlu aku jauhin Saras?” Raga bertanya membuat Zua terpaku hingga tak sadar sebuah senyuman terpatri. Seolah-olah laki-laki itu memberi jalan keluar dari permasalahan hubungannya.
“It–” Ucapan Zua terpotong, senyumnya ikut memudar ketika mendengar kalimat berikutnya yang Raga katakan.
Laki-laki itu semakin mempererat pelukannya dengan mata yang terus terpejam. “Itu nggak bakalan terjadi, aku nggak bisa jauh dari dia, begitu juga dengan kamu. Iya tahu, Zua ... kamu sakit hati? Aku tahu itu, tapi apa aku salah nggak mau lepasin kamu atau pun Saras? Ini pasti nggak lama, kita bisa lewatin bareng-bareng.”
Tak lama kemudian Zua membalas pelukan Raga, tangannya meremas baju bagian belakang laki-laki itu dengan netra yang kian memanas. Dia harus sadar diri akan kenyataan yang menimpa hubungannya dengan laki-laki itu.
Kenapa dirinya juga harus ikut andil merasakan sakit hati untuk kesekian kali? Bahkan itu karena satu laki-laki yang Zua cintai. “Sesusah apa, sih, Ga, bilang iya? Kamu coba lupain aku, aku juga akan coba buat lupain kamu.”
Raga menggeleng pelan. “Susah, aku nggak bisa. Kamu orang spesial, kamu beda dari yang lain, yang nggak ada pada siapapun. Dan Saras ... dia ada di posisi itu juga. Maaf, aku nggak bisa jujur.”
Air mata Zua turun begitu saja di pelukan Raga tanpa isakan.
“Masih mau minta putus?”
Dia mengernyit saat suara tegas dan berat Raga kini terdengar sedikit serak yang terdengar jelas di telinga Zua. “Raga kamu nangis?”
Zua memegang rahang Raga agar bisa melihat netra hitam legam setelah gadis itu melepaskan pelukannya. Dan benar saja, bagian matanya laki-laki itu ada warna kemerahan juga terlihat basah.
Raga meletakan tangannya di bawah tangan Zua yang masih berada pada wajahnya. Dia memejamkan matanya kembali seraya mengecup lama tangan sang pacar. “Jangan minta pergi. Jangan pokoknya!”
Zua diam sembari terus menatap lekat pahatan wajah Raga. Laki-laki itu menatap balik Zua lalu beralih ke tangan yang masih digenggamnya, laki-laki itu mengecup lagi tangan Zua, tapi kini bagian atas tangan perempuan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny (Complete)✔
Teen FictionBEBERAPA PART DIPRIVATE, FOLLOW TERLEBIH DAHULU ••• Bagi Zua, patah hati adalah luka yang disengaja atau konsekuensi saat jatuh cinta. Tahu rasanya seperti apa, karena akhir-akhir ini takdir membuatnya merasakan. Saat Raga berstatus pacar, akan teta...