“Egois! Lo kira gimana perasaan Zua pas lihat lo jalan sama cewek lain!” Egi menarik kerah baju Raga menariknya agar kembali berdiri.“Selesain drama busuk lo, Gi!” Dada Raga naik turun dengan mata yang masih menyorot tajam. “Gue capek!”
Egi berdecih, lain halnya Zua yang masih memandang benda itu lekat. “Cincin?”
Raga menyentak kasar tangan Egi yang membuatnya kembali jatuh terduduk. Netra tajam milik Raga menatap pergerakan tangan Zua, dengan cepat laki-laki itu bangkit mengambil cincin yang keluar dari saku celana jeans nya.
Zua langsung berhenti mengalihkan atensi pada Raga, begitu pun juga Egi. Tangan laki-laki itu terlihat begitu mengepal kuat dan membuang pandangan ke arah lain.
Netra Zua yang berkaca-kaca menatap dalam Raga. “Itu cincin siapa?”
“Mama.” Raga menatap datar Zua seraya menjeda ucapannya, “Cincin nikah punya Mama.”
Zua mengusap air matanya kasar. “Ga! Aku nggak bodoh! Cincin itu lebih mirip cinci—”
“Kamu nggak percaya? Sejak kapan kamu curiga sama aku? Jangan ngalihin pembicaraan, Zu.” Raga menyeka sudut bibirnya yang berdarah. “Dari tadi yang kita bicarain itu—kamu kenapa lukain Saras?”
“Kamu yang ngalihin pembicaraan! Iya aku percaya sama kamu.” Zua mendekat berdiri tepat di depan Raga. “Aku tahu ... kamu pulang alesannya karena Saras. Tapi, aku nggak pernah lukain dia. Aku nggak tahu apa-apa soal Saras yang dibawa ke rumah sakit. Aku nggak tahu, Raga ...”
Murid di sekitar mereka mulai berhamburan memilih pulang seolah memberi ruang bagi mereka untuk menyelesaikan masalah. Raga tertawa seraya meringis memejamkan matanya beberapa detik lalu menatap balik Zua lamat-lamat tanpa ekspresi.
“Nggak ada gunanya bicara sama kamu. Sekarang kamu sama aja kayak mereka. Sekali bohong seterusnya juga bakal bohong. Kamu ... cuman bicara omong kosong,” ujarnya lalu berjalan menjauhi Zua yang luruh jatuh saat kakinya terasa begitu lemas seperti jeli. Tak lama Egi pun pergi meninggalkannya.
Kamu tahu, Raga? Kejadian ini nggak asing sama yang Saras lakuin.
Jantung Zua berputar cepat, dia merasa tak karuan. Air matanya kembali mengalir tanpa isakan. Gadis itu menangis dalam diam dengan tenggorokan tercekat. Pacarnya yang memilih pulang cepat karena Saras yang bukan siapa-siapa Raga 'katanya' dibawa ke rumah sakit, sementara dirinya mendapat tamparan yang panas sebagai sambutan.
Karena Raga tetaplah Raga. Laki-laki yang mencintai dua wanita, yang selalu mementingkan Saras dan menomor duakan dirinya yang memiliki posisi sebagai pacar.
Demi apapun gadis itu berani bersumpah, dia tak tahu apa-apa perihal Saras. Harusnya Raga tahu apa yang terjadi padanya ketika Raga tak ada. Harusnya dia tahu batin dan fisiknya begitu tersiksa karena Saras. Harusnya juga Raga tahu kalau Saras jauh dari ekspetasi yang dinilai oleh laki-laki itu.
Zua lebih memilih membiarkan Raga menamparnya atau bahkan melampiaskan amarahnya sampai laki-laki itu lelah, daripada kedatangan Egi yang tiba-tiba menghalangi Raga, tapi akhirnya kembali meninggalkannya. Sendiri.
Pacar yang buruk. Sialnya hati ini malah jatuh padanya.
“Woy!”
Zua mendongak menghapus bekas air matanya sebelum akhirnya berdiri menatap ke arah laki-laki berseragam sama dengannya yang menghampiri Zua.
“Zua, 'kan?” Laki-laki itu sekilas terlihat begitu tak asing. “Lo kenapa?”
“Maaf, kak. Aku nggak kenal kakak, permisi.” Zua berucap pelan kemudian berlari kecil meninggalkan laki-laki itu yang terdiam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny (Complete)✔
Teen FictionBEBERAPA PART DIPRIVATE, FOLLOW TERLEBIH DAHULU ••• Bagi Zua, patah hati adalah luka yang disengaja atau konsekuensi saat jatuh cinta. Tahu rasanya seperti apa, karena akhir-akhir ini takdir membuatnya merasakan. Saat Raga berstatus pacar, akan teta...