Part 35

2.5K 102 2
                                    

“Nggak.”

“Sepotong aja, Raga. Masa iya, kamu yang beli cuma liatin.”

Sedari tadi gadis yang sudah berpakaian santai terus saja mencoba membujuk Raga agar memakan martabak yang tadi mereka bawa. Zua sendiri sudah menghabiskan dua potong, sementara Bundanya kembali berkutat di dapur.

“Makan, ya? Kamu juga harus makan, kalau kamu nggak mau, oke, aku juga nggak mau makan,” ujar Zua seraya menyimpan kembali martabaknya.

“Iya, yang nggak mau makan 'kan udah barusan, ya, Zua?”

Gadis itu lantas mengembangkan senyumnya sehingga menampilkan sederet gigi. Dia kembali mengambil martabak yang tadi ia letakkan.

“Makan, ayo.”

Raga menggeleng untuk kesekian kalinya, tangannya kirinya ia pakai untuk menumpu dagu, satunya lagi dia gunakan untuk memegang handphone yang dibiarkan terkunci. “Habisin aja sendiri, badan kamu butuh asupan. Dari pada kekurangan gizi.”

Raga tertawa kecil melihat raut tak bersahabat dari Zua.

Sudah lama. Ya. Sepertinya, Raga kembali dekat pada gadis ini. Gadis yang sukses membuatnya jatuh cinta di masa pertama kali melihatnya dari sekian banyak wanita lain yang mendekati dirinya. Entah kenapa Raga lebih tertarik pada gadis di depannya ini, hingga sekarang dia kecewa pada dirinya sendiri yang selalu bersikap acuh, walau kenyataannya itu tak benar.

Seandainya saja salahnya pada Zua dapat dihitung, sudah dipastikan Raga tak mampu menghitungnya. Bahkan sampai saat ini, Raga belum mengetahui tindakan bodoh Zua yang mencoba melukai dirinya sendiri ketika kecewa akan perilaku Raga.

Kali ini laki-laki berperawakan putih itu merasa bersalah sekali, kebanyakan waktu saat masih berpacaran dengan Zua hanya untuk membuat gadis itu terluka. Karena drama yang dibuat sepupunya, padahal sudah jelas Zua tak tahu apa-apa. Jadi biarkan sekarang dirinya bersikap egois akan perasaannya. Dia tak mau lagi membohongi dirinya sendiri.

Perihal Saras, sudah cukup. Itu masalahnya dengan Egi, kalau Zua yang kembali disangkut pautkan Raga juga akan bertindak akan hal itu. Kesal, benci, kecewa itu ada, dan kini dia masih merasakannya karena Saras yang mengakibatkan hubungannya putus.

Raga tak akan meminta waktu agar dapat berputar, mengulangi kejadian yang sudah terjadi, atau meminta ruang supaya dirinya dapat mengulang, memilih pilihan yang tak seharusnya ia pilih. Setidaknya sekarang ada yang perlu dia perjuangkan untuk waktu ke depan.

“Teguh, sini Kakak bawain martabak. Masih ada, nih.” Raga menggerakan kursi di sampingnya, netranya menatap harap Teguh yang baru saja memasuki dapur dengan menjinjing sepatu dan jaket jeans di lengan kirinya. “Martabak kacang, kata Zua lo suka rasa kacang.”

Teguh menaikkan satu alisnya, rautnya datar, tanpa ekspresi. “Nggak usah sok asik, jatuhnya malah kayak sok kenal.”

“Dek.” Zua meringis pelan, mendelik tak suka pada Teguh yang menurutnya tak sopan.

“Apa? Ha?”

“Nggak sopan tahu nggak?”

Teguh berdecak, sementara Raga bergeming di kursinya.“Sampe segitunya, nggak apa-apa bela aja terus tu cowok, yakin bener bakal jodoh.”

Setelahnya, Teguh berlalu ke arah dapur, meninggalkan kedua remaja yang menghela napas lelah.

“Maaf, Raga.”

Laki-laki itu mengusap surai Zua pelan sembari mengulas senyum. “Dia cuma kecewa aja, bantuin aku, ya, bujuk dia? Seenggaknya Teguh ijinin kita pacaran, walau nggak perlu ijin dari dia, tetep aja kita harus bujuk adek kamu supaya nggak marah lagi.”

Zua mengangguk tanpa berpikir panjang, ada keraguan pada dirinya yang tak mampu ia ungkapkan pada Raga.

-——-

“lihat jam.”

Raga mengikuti instruksi orangtuanya yang ternyata tengah menatapnya datar. Dia menarik kunci motor lalu melirik jam dipergelangan tangan dengan seragam sekolah yang sudah tak beraturan. “Pukul delapan malam, kenapa, Ma?”

“Habis darimana, ha? Kenapa baru pulang?”

Raga tersenyum cerah. “Dari rumah, Zua, main dulu bentar,” balasnya santai, bahkan tak memperhatikan ekspresi tak suka dari Bundanya.

Wanita paruhbaya yang masih terlihat muda itu mengambil alih kunci motor sang anak dengan sekali hentakan. Raga dibuat bingung akan tindakannya, namun dia memilih diam. “Nggak usah deket-deket sama dia lagi, Mama nggak suka dia, Raga,” pintanya tegas.

Raga tertawa mendengar permintaan yang menurutnya seperti candaan.

“Mama, nggak bercanda.”

Spontan Raga menatap serius Bundanya, mencari titik kebohongan, namun yang dia dapatkan guratan wajah tegas. “Apa, sih, Ma? Bercandanya kayak gitu. Raga mau mandi aja, badan lengket soalnya. Sini kuncinya, biar Raga simpan.”

Raga yang hendak mengambil kembali kuncinya terhenti tatkala Tari bergerak lebih cepat menyembunyikan kunci motor ke belakang tubuh seraya berjalan mundur beberapa langkah.

Laki-laki itu menghela napas berat, tangannya terkepal, mencoba menahan emosi yang takutnya akan jadi masalah baru. “Ma, kuncinya mau Raga simpan.”

Tari menggeleng sebagai jawaban, tatapannya masih lekat pada sang anak. “Ke depannya Mama nggak akan biarin kamu naik motor lagi kalau dipake buat jemput gadis itu.” Tari mengantungi kunci ke dalam saku celana.

“Mama nggak suka sama dia! Dengerin apa kata Mama! Dia nggak baik buat kamu, karena belain dia kamu harus kena tonjokkan dari temannya.”

“Nggak bisa gitu!”

“Kamu melawan Mama demi gadis yang gak tahu asal usulnya itu?”

Raga mendengkus, mengalihkan tatapannya ke sembarang arah.

“Bener 'kan apa kata Mama?”

“Sejak kapan Mama suka ngehina orang? Asal Mama tahu, dia cewek baik-baik, nggak seperti yang Mama pikirin. Raga jauh lebih kenal Zua, bahkan pas awal masuk sekolah.”

“Kunci motor Mama sita. Mama juga nggak akan kasih uang jajan kamu lagi kalau masih sama dia. Orang baik nggak akan buat masalah sama banyak orang, termasuk orangtua yang nggak seharusnya bersangkutan,” ujarnya pada sang anak begitu penekanan.

Untuk kali ini Raga dengan berani menatap tajam wanita yang telah melahirkannya. “Untuk uang, oke Raga terima. Tapi, untuk Mama salahin dia, jelas Raga nggak terima. Kenapa salahin dia? Salahin aja Saras yang buat drama cuma karena cinta sama sahabatnya Zua. Mama egois, ini hak Raga. Mau sama siapapun itu, Mama nggak perlu atur-atur.”

Sebuah tangan mendarat mulus di pipi sang anak, meninggalkan panas yang menjalar ke wajahnya hingga membuatnya terdiam. Sudah tahu luka di wajahnya masih belum sepenuhnya sembuh, tapi Mamanya malah menambahkan luka. Bahkan dapat dia rasakan kembali perih pada bekas tamparan sekaligus tonjokan dari Egi.

“Sudah jelas kamu anak Mama. Jadi, apapun pilihan kamu, Mama berhak ngatur!” Wanita paruhbaya itu menarik napas kasar kemudian berlalu menaiki tangga.

Raga mengusap sudut bibirnya yang kembali berdarah lalu berjalan cepat ke arah kamar.

“Sial,” umpatnya. Ketika semuanya sudah terbongkar, justru permasalahan di kedua pihak keluarganya dan keluarga Zua yang jadi masalah dan mempersulit hubungannya kali ini.

Destiny (Complete)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang