Enam tahun kemudian.
Gadis bersurai sepunggung yang dicepol asal itu duduk di salah satu kursi cafe yang masih kosong. Kepalanya ia jatuhkan ke atas meja. Belum sempat netranya terpejam, seseorang menepuk bahunya. Bertepatan dengan suara berat yang terdengar. "Zua, sejak pagi belum makan. Jadi, alasannya kenapa?"
Ya. Dia Zua, yang meneruskan pendidikannya di salah satu universitas kedokteran yang jaraknya beberapa kilo meter dari rumah. Beberapa minggu lalu dia baru menyelesaikan kuliahnya.
Zua bergeram kecil seraya kembali menegakan tubuhnya. Tatapan malas ia tunjukan pada seorang pria bertubuh tegap yang berdiri memandang dirinya cemas.
Dia menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.
Terdengar helaan napas berat dari bibir pria itu. "Dia lagi?"
"Bisa nggak jangan bawa-bawa dia, Egi? Aku malas makan bukan dia alasannya. Jadi, berhenti sangkut pautin semuanya ke dia." Zua memijat pelipisnya merasa kesal sekaligus marah pada pria di depannya ini. "Kamu punya dendam apa, sih?"
Egi tertawa pelan. "Ya, emang benar, 'kan, Raga alasannya? Aku tahu Zua, udah beberapa bulan lalu dia nggak ada kabar, dari situ juga hari-hari kamu nggak berjalan kayak semestinya 'kan?"
Bukan hanya dirinya saja, akan tetapi Egi pun ikut melanjutkan kuliahnya di universitas yang sama. Entah kenapa pria berperawakan putih itu selalu memilih apa yang dirinya pilih. Bahkan kemana pun Zua pergi, Egi akan selalu menempelinya.
Rahang yang terlihat tegas, rambut blonde sedikit panjang dan kumis tipis yang menghiasi wajah Egi. Membuatnya terlihat layaknya pria dewasa. Bahkan dia menjadi salah satu bagian dari mahasiswa yang memiliki wajah rupawan di kampusnya saat masih kuliah.
Selepas dari kejadian di masa SMA, Egi benar-benar sudah berubah. Tak urung dia menyesali atau bahkan terus mendatangi rumah Zua hanya untuk mendapatkan maaf dari keluarganya. Hampir satu tahun melakukan itu dan berakhir dengan maaf yang diterima oleh mereka.
Semenjak itu pula Egi masih tak memiliki pasangan. Lebih tepatnya karena nama dirinya masih tesirat di relung hati Egi. Sudah sering Zua mendengar pengungkapan cinta laki-laki itu lewat ajakan lamaran yang diajukan oleh Egi. Padahal Zua sering memperingatkan bahwa dirinya tak menyukai Egi layaknya seorang perempuan kepada laki-laki, namun dia malah tetap menunggunya. 'Setidaknya sampai aku lihat kamu terikat status dengan orang lain' katanya.
Kedekatan Zua dan Egi memang terbilang begitu dekat. Terkadang dulu mahasiswa lain mengira mereka berdua adalah pasangan. Dengan cepat Zua selalu mengenyahkan spekulasi itu dengan pernyataan kalau dirinya memiliki seorang pacar yang sayangnya tengah melanjutkan kuliah di Singapur.
Hubungan Zua dan Raga masih berlanjut sampai sekarang, walau hanya dengan jalur komunikasi mereka dapat saling bertukar topik untuk membayar rindu karena tak kunjung bertemu. Sayang sekali dari bulan November Zua tak dapat menghubungi Raga. Dia hilang kabar, nomor yang sering digunakan olehnya pun sudah tidak aktip.
Andai saja Zua memiliki kontak dengan keluarga atau teman dekat Raga, sudah ia pastikan baik-baik saja. Dan yang dilakukannya sekarang hanya menunggu. Hilang kontak bukan berarti hubungannya berakhir bukan?
Lagi pula Zua percaya bahwa Raga akan datang kembali untuk menemui dirinya dan melamarnya. Mengingat janji itu, Zua selalu merasa senang sekaligus tak tenang. Karena hilangnya kabar dari Raga akhir-akhir ini.
"Lupain dia, Zua. Kalau Raga peduli sama kamu, nggak seharusnya dia menghilang."
Zua mendelik tak terima. "Mending kamu pergi sebelum aku marah lagi, Egi. Aku tahu kamu peduli, aku hargain itu. Hari ini aku lagi nggak mood buat ladenin kamu, ngertiin aku dulu, ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny (Complete)✔
Teen FictionBEBERAPA PART DIPRIVATE, FOLLOW TERLEBIH DAHULU ••• Bagi Zua, patah hati adalah luka yang disengaja atau konsekuensi saat jatuh cinta. Tahu rasanya seperti apa, karena akhir-akhir ini takdir membuatnya merasakan. Saat Raga berstatus pacar, akan teta...