Zua lantas menatap Raga lamat-lamat. “Kamu masih anggap aku orang lain? Sementara aku bela-belain kamu depan keluarga aku. Lucu, ya? Harapan aku tentang kamu terlalu tinggi,” ungkapnya dengan tangan yang mengepal.
Laki-laki di depan Zua mengedarkan pandangannya ke sekitar, takut-takut ada guru yang melihat ke arah mereka berdua. Kala merasa aman, Raga menggenggam tangan Zua yang sangat pas di tangannya dengan lembut. Dia meraih dagu gadis itu agar dirinya dapat menatap dalam mata teduh yang menjadi candunya.
“Dia salah satu keluarga aku, Zua. Wajar 'kan kalau aku lindungin dia dari Egi? Lagian dia satu-satunya sepupu perempuan yang aku punya. Aku udah bilang sama Saras, aku nggak akan ikut campur urusan dia lagi, aku juga bilang sama dia jangan bawa-bawa kamu ke masalahnya.”
“Tapi, sekarang aku udah jelas ikut kebawa masalah Saras, iya 'kan, Ga?” Sudah jelas dari kedekatannya dengan Egi dan Zua merasa ini tidak akan terjadi jika saja Egi tak mempunyai rasa lebih padanya.
Raga memejamkan matanya erat, menarik napasnya panjang-panjang kala mulai tidak teratur. Emosinya mulai naik, ia urungkan saat Raga sadar di depannya adalah Zua yang tengah dalam keadaan perasaan yang kurang cukup baik.
“Dengerin aku sek—”
“Jam berapa sekarang?!”
Mereka berdua reflek menatap asal suara bariton nan tegas yang memotong ucapan Raga barusan. Kepala mereka menunduk takut kala mendapati kepala sekolah yang tengah berjalan ke arah mereka dengan netra yang menatap tajam tak bersahabat.
“Saya tanya sekali lagi! Jam berapa sekarang?!”
Raga menghela napas pelan, melirik arloji hitam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Setengah sembilan lebih, Pak.” Telinganya tidak tahan mendengar teriakan yang seolah akan memecahkan gendang telinganya.
“Kenapa baru datang?!”
Lain halnya Zua yang meremat jari jemarinya, dia tak mau menatap kepala sekolah yang terkenal galak itu. Bulu kumis yang lebat, tinggi dan badan berisi, menambah kesan kegalakkannya.
“Motor saya tadi mogok, jadi terpaksa kita dorong sampe pom bensin,” elak Raga mencoba membuat pria paruh baya di depan mereka berdua percaya.
Netra tajam kepala sekolah menelisik. “Ini bukan sekolah kalian dan kalian bebas datang kapan aja. Tahu peraturan, 'kan?” tanya pria paruhbaya itu penuh penekanan.
Mereka mengangguk kaku.
“Ya, makanya baca! Pahami! Jalani! Lagian bapak tahu dorong motor nggak harus nyampe satu jam lebih. Sekarang, bapak minta bersihkan halaman belakang atau kalian jangan masuk kelas sampai jam terakhir.”
Zua sontak menatap kepala sekolah. “T-tapi, pak, saya akan ketinggalan jam pelajaran pertama.”
Pria paruhbaya itu mengalihkan atensi pada Zua dengan raut datar. “Jam pelajaran pertama sebentar lagi habis. Bapak bilang bersihkan halaman belakang!”
“I-iya, Pak, saya mau ambil sapu dulu.”
“Pake tangan!”
Raga mendengkus pelan, dia menggenggam satu tangan gadis itu. “Ayo, Zua.”
“Maaf, pak,” ucap Raga lalu menarik Zua ke arah halaman yang berada tepat di belakang kelas sepuluh.
Zua menghela napasnya berat, menyamakan langkahnya dengan Raga yang masih menggenggam tangannya erat. “Maaf, udah buat kamu dihukum, Ga.”
“Salah aku juga, kok.”
Gadis itu menggeleng pelan, terus menatap ke arah jalan. “Harusnya kamu nggak perlu bohong, ini salah aku. Kalau tadi pagi aku nggak bertengkar sama Teguh, kita nggak akan kesiangan.”
Raga memilih diam, tak membalas lagi. Menanggapi Zua hanya akan menambah gadis itu merasa bersalah. Laki-laki itu jelas tahu, ini adalah pertama kalinya Zua mendapatkan hukuman. Dulu jika mereka bolos atau datang kesiangan pun guru tak pernah mendapatinya, karena sering kali mereka masuk kelas dalam keadaan tak ada guru. Akan tetapi, kali ini berbeda.
Sempat Raga mendengar Zua dihukum dan Egi yang menjalankan hukuman itu. Harusnya, dirinya yang melakukan itu dulu. Namun, keadaannya dulu berbeda, dia tengah membantu Saras yang mencoba mengejar Egi waktu itu.
Baru saja Zua akan berjongkok untuk mengutip daun-daun yang berserakan di mana-mana. Raga lebih dulu menahan membuat dirinya kembali berdiri tegak.
“Duduk.”
Zua mendelik tak terima. “Ya, kalau bukan aku yang bersihin siapa lagi? Minggir, Ga.”
“Duduk, aku yang bersihin. Kamu belum makan, ntar kamu sendiri yang ngerasain sakit. Halamannya juga lebar, kamu pasti cape kalau ngutip daun-daun itu.” Raga menunjuk ke sekitar. “Sampah ada di mana-mana, cukup aku aja, ya. Biarin aku lakuin ini, dulu Egi yang kayak gini, bukan aku.”
-——-
Zua menumpu dagu, matanya terus menatap ke arah papan tulis. Lain halnya dengan pikiran yang mengganggu fokusnya. Lama-kelamaan gadis itu menatap kosong.
Hukuman yang kepala sekolah berikan Raga menyelesaikannya sendiri, walau sudah berkali-kali dirinya menolak, Raga tetap tak memperbolehkannya membantu. Kala selesai jam pelajaran ke dua juga baru dimulai yang membuat mereka berdua harus masuk tanpa istirahat terlebih dahulu.
Ratih yang baru saja masuk kelas heran akan tingkah sahabatnya. Dia menarik kursi menghadap Zua, tangannya bergerak di depan wajah sahabatnya. “Zua?”
Gadis itu tersadar dalam lamunannya, beralih pada sang empu yang memandang dirinya bingung.
“Lo kenapa?”
Zua menggeleng.
“Aneh lo.”
Zua menggigit bibirnya, menimbang-nimbang sesuatu yang berada dalam pikirannya.“Uhm, Rat, boleh nanya nggak?”
Ratih mengangkat jempolnya. “Nanya, ya, nanya aja.”
“Kalau kamu diminta balikan sama mantan, kamu bakal jawab apa?”
Ratih terdiam sesaat dengan kening berkerut, memikirkan pertanyaan Zua. “Kalau gue ... kayaknya nggak akan balikan, deh, Zu. Perasaan sebelumnya nggak akan sama, kalau misalkan diterima mungkin bisa aja mantan gue nyoba buat kayak dulu lagi. Tapi, tetep aja ada yang beda. Nggak sepenuhnya sama kayak awal-awal pacaran. Lagi pula gue nggak mau ngulang lagi, sekarang ya sekarang, dulu ya dulu. Mantan lo minta balikan, ya?” tebak Ratih seolah tahu apa yang tengah dipikirkannya.
Zua mencoba mencerna apa yang Ratih ungkapkan, memang benar juga, apa yang sudah terulang tak akan selamanya sama meski dapat diulang. Dia tersenyum kecil. “Nggak. Tumben nggak sama Adam, kenapa?” tanyanya saat melihat Ratih sendiri.
Ratih menyengir lebar lalu menggeleng keras. “Dia lagi nongkrong sama yang lain, Zu. Lo ... kenapa nggak sama Egi?”
Zua terdiam, dia tak tahu harus menjawab apa.
“Woy!”
Ratih tersentak kaget, tangannya pun reflek memukul orang yang tiba-tiba menepuk bahunya keras. Dalam hati Zua bersyukur dapat menghindari pertanyaan Ratih.
Raga berdecak, mengusap lengannya yang jadi sasaran pukulan Ratih. Satu tangan lainnya dipakai menenteng satu plastik. “Santai aja kali, gue gak akan nerkam lo. Minggir, gue mau duduk.”
“Lo yang santai, maen dorong-dorong aja,” dumel Ratih saat Raga mendorong dirinya, dia bangkit dari kursi meninggalkan mereka berdua dengan kesal.
“Nggak boleh gitu, dia cewek.”
Raga mengedikkan bahunya tak peduli, dia duduk seraya menyimpan plastik hitam itu yang entah apa isinya.
“Kenapa nggak istirahat? Masih takut dia? Padahal dia nggak sekolah,” jelas Raga sembari mengeluarkan isi plastik itu yang ternyata dua bungkus cilok yang penuh, serta dua botol minuman.
Zua tak fokus pada apa yang laki-laki ini bawa, dia hanya tertarik pada berita yang Raga ucapkan. “Kamu tahu dari mana?”
Raga menatap Zua serius. “Dia masuk rumah sakit.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny (Complete)✔
Teen FictionBEBERAPA PART DIPRIVATE, FOLLOW TERLEBIH DAHULU ••• Bagi Zua, patah hati adalah luka yang disengaja atau konsekuensi saat jatuh cinta. Tahu rasanya seperti apa, karena akhir-akhir ini takdir membuatnya merasakan. Saat Raga berstatus pacar, akan teta...