Zua bergerak tak karuan di tengah matanya yang mencoba terpejam, badannya berkeringat dingin. Matanya terbuka bersamaan dengan hembusan napas kasar yang keluar dari mulutnya.
Dia mengambil handphone yang berada di atas nakas, menatap jam yang membuatnya mengusap wajah gusar. Sudah pukul setengah tujuh pagi, Zua mengira masih malam kala melihat jendela yang bergorden putih agak transparan itu masih terlihat gelap.
Gadis berpiama abu itu melangkah mendekati jendela, menyingkap gorden lalu mengedarkan pandangan keluar. Pantas saja terlihat gelap, cuaca di luar tengah mendung rupanya. Hingga suara ketukkan di pintu kamar mengalihkan atensinya.
Apa mungkin Bundanya?
Perkiraannya salah saat pintu itu terbuka, menampilkan sosok laki-laki berseragam putih abu. Gadis itu diam, tak berkata apa-apa. Melihat bekas pukulan yang masih terpampang nyata di wajah Raga yang mengulas senyum ceria, kentara menggambarkan bahwa laki-laki itu tengah bahagia.
“Mandi, gih, Zua. Kita berangkat bareng mulai sekarang, aku tunggu di bawah,” ucap Raga dengan binar antusias. Mungkin karena ini kali pertamanya laki-laki itu menjemput Zua tanpa perlu sembunyi-sembunyi lagi.
Entah harus senang atau sedih, Zua bingung untuk menanggapi hal itu. Bundanya tak seperti biasanya, terkadang selalu membangunkan Zua. Akan tetapi, kali ini tidak. Bahkan biasanya Teguh selalu mengganggu dirinya dengan berbagai cara hanya untuk membangunkan Zua. Maka dari itu juga dia mengira masih pagi.
Hingga beberapa menit setelahnya Zua menghampiri Raga dengan baju sekolah yang sudah terpasang, laki-laki itu tengah duduk di ruang tamu sendirian. Dia lantas berdiri menggenggam tangan Zua lalu menariknya agar berjalan beriringan.
“Bentar, Ga. Ayah!” Zua melepaskan tautan tangannya, menghampiri sang Ayah yang berbincang dengan Teguh. Gadis itu mengangkat tangannya seraya tersenyum, berniat salim pada sang Ayah yang hanya menatapnya dalam diam.
“Ayah,” panggil Zua karena Ayahnya tak menanggapi dirinya.
Tidak jauh darinya, Raga juga ikut diam melihat apa yang akan dilakukan oleh Zua. Namun, senyumannya luntur kala sang Ayah berlalu tanpa sepatah kata. Meninggalkan dirinya yang terpaku dan Raga yang menghela kasar.
“Ayah ....”
Zua sama, layaknya anak lain yang merasakan sakit ketika didiamkan oleh sang Ayah yang biasanya dekat dengannya.
Teguh menarik sudut bibir seraya mengangkat salah satu alisnya. “Batu, sih, udah dibilangin jauhin kak Raga. Ini akibatnya kalau masih ngeyel, enak nggak, kak?” tanya Teguh menatap tak suka pada Raga sebelum akhirnya ikut berlalu masuk.
“Dek!”
Raga menatap khawatir. “Zua.”
Gadis itu menggeleng, sembari mengangkat satu tangannya, mengintruksi Raga agar tak ikut campur.
“Apa salah kalau keinginan kakak mau terjadi? Selama ini kamu nggak pernah dukung kakak, 'kan?” tanya Zua begitu serius. “Salahnya di mana?”
Teguh menghentikan langkahnya, dia berbalik menatap lurus pada sang Kakak yang juga tengah menatapnya dalam. “Bukan keinginan, tapi ego. Kakak lebih mentingin ego kakak dibandingkan orang lain yang udah jelas peduli.”
Gadis itu diam, begitu pula Raga.
Jari telunjuk adiknya bergerak menunjuk ke arah kepalanya sendiri. “Pikir sendiri, deh, kak. Selama ini aku nyuruh kakak jauhin dia buat apa? Kalau bukan buat kebaikan kakak aku nggak perlu habisin waktu aku buat jadi penghibur kakak saat sedih. Aku juga nggak mungkin cari tahu kebenaran dia, meski itu cuma drama busuknya.”
“Dia lakuin itu karena peduli sama sepupunya,” sanggah Zua mencoba menyangkal ucapan adiknya.
Teguh tertawa, merasa tak habis pikir pada jalan pikiran sang kakak. “Sekalinya kenal cinta ngerugiin banyak orang. Sekarang dan seterusnya kalau kakak ada apa-apa ... aku nggak akan peduli lagi.”
Raga mendekat, merangkul Zua yang menundukkan kepala, memikirkan ucapan Teguh barusan yang begitu menohok.
“Kita jalanin, ya. Aku yakin aku bisa buktiin sama keluarga kamu kalau aku nggak seperti yang mereka bilang.”
Ini memang salahnya, semalam Raga benar-benar menjelaskan secara detail perihal masalah yang mereka alami. Bahkan laki-laki itu tak segan-segan memberitahu keburukan Egi yang membuat keluarga Zua menggeleng tak percaya.
Karena semalam juga, Raga dan dia terus meminta untuk diizinkan pacaran. Akan tetapi, Teguh dan Ayah Zua menolak keras. Kebiasaan Ayahnya jika sudah tak suka pada satu orang, maka selanjutnya pun akan begitu. Begitu pula Teguh, adiknya sampai emosi kala melihat Raga semalam. Sudah dipastikan kalau Bundanya tidak menghalangi Teguh, laki-laki itu akan menyerang Raga.
Ada rasa menyesal telah memohon-mohon pada Sang Ayah hanya untuk diizinkan pacaran dengan Raga, jika saja dia tahu pilihannya akan sesulit ini Zua akan memikirkannya baik-baik. Antara keluarga atau orang lain yang sudah jelas tak ada hubungan darah sedikit pun. Bahkan hubungannya dengan Raga masih belum jelas sampai sekarang.
Lebih sakit lagi saat ayahnya mengatakan 'Terserah, nikmatin konsekuensinya nanti. Harusnya ... dari harta aja kamu udah sadar seberapa tingginya mereka dibandingkan kita yang berada jauh di bawah.’ Dari situ saja, Zua seolah langsung tersadar atas apa yang ia inginkan. Faktanya, kehidupan Raga jauh lebih mewah dengan kehidupannya.
Zua mengikuti langkah Raga, menaiki motor laki-laki itu tanpa banyak bicara. Raga menarik kedua tangan gadis itu agar melingkarkan tangannya pada perutnya. Akan tetapi, Zua melepaskannya. Dia hanya bisa menghela napasnya berat, ikut merasa bersalah pada gadis itu.
Sepanjang jalan menuju sekolah pun mereka hanya diam. Hingga beberapa menit kemudian gerbang sekolah nampak masih terbuka. Raga segera memarkirkan motornya.
Zua turun, menatap ragu pada Raga.
“Ayo, Zua.”
Gadis itu masih diam dengan mata yang tak lepas dari Raga.
“Keburu ada guru, lho.”
Zua menggeleng pelan seraya menunduk. “Aku nggak mau sekolah, Ga. Besok aja, ya?” Zua tidak mau bertemu dengan Egi, yang takutnya akan bertindak lebih jauh dari kemarin.
“Baru juga sampe, masa kita harus pulang lagi?” tanya Raga dengan tangan yang bertengger di atas bahu Zua.
“Aku mau pulang, aku takut, Ga.”
Raga terdiam sebentar, tak lama dia mengangguk mengerti apa yang gadis di depannya katakan. “Ada aku, Zua. Aku akan jaga kamu dari dia.”
“Jaga aku?” Bibir Zua membentuk senyum getir.
“Zua! Tunggu dulu!” Dia melangkah lebar, mengejar gadis di depannya yang berlari meninggalkan diriya. Tangan Raga bergerak menahan tangan Zua yang mencoba melepaskan tangannya.
“Kenapa, sih? Nggak perlu lari-lari, perut kamu bisa sakit. Kamu juga 'kan belum makan, Zua?”
Netra Zua berkaca-kaca menatap Raga yang terpaku.
“Kenapa?” tanya Raga lembut.
“Kenapa peduli sama aku, Raga? Keluarga aku aja udah nggak peduli lagi sama aku, sedangkan kita juga bukan siapa-siapa.” tanya Zua pelan, dia memalingkan pandangannya ke arah lain. “Dulu saat kita pacaran, kamu nggak terlalu peduli sama aku, 'kan?”
Kenapa semalam Zua bisa ikut memaksa orang tuanya? Harusnya dia sadar, Zua sudah bukan siapa-siapa lagi bagi Raga.
“Ya, udah, balikan, Zua. Aku bakal serius jagain kamu sekarang, aku nggak janji, tapi aku akan buktiin juga sama kamu.”
Zua tersenyum miris, tanpa melihat Raga dia berujar, “Dulu juga ... kamu sering bilang gitu, tapi apa?”
Raga berdecak kesal. “Coba kamu yang ada di posisi aku, Zua. Kamu bakal milih bantuin sepupu kamu atau orang lain?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny (Complete)✔
Teen FictionBEBERAPA PART DIPRIVATE, FOLLOW TERLEBIH DAHULU ••• Bagi Zua, patah hati adalah luka yang disengaja atau konsekuensi saat jatuh cinta. Tahu rasanya seperti apa, karena akhir-akhir ini takdir membuatnya merasakan. Saat Raga berstatus pacar, akan teta...