[ 1. ] Senin

667 255 112
                                    

Merasakan filosofi-filosofi intelektual dari pemimpin-pemimpin modern sebagai bidah, bodoh, dan gila.
-Kang Bucin-

"Melaporkan langsung dari tempat kejadian. Pagi ini ditemukan jenazah korban pembunuhan di SMA Andromeda berinisial AI diduga tewas ...."

Bip!

Seorang cowok berpakaian rapi mengenakan kemeja putih dengan celana hitam panjang menuruni tangga sambil membenarkan kancing lengannya. Nampaknya dia sedang terburu-buru di Senin yang padat ini. "Esti, cepat habiskan sarapanmu dan berangkat sekolah sekarang!"

"Iya Bang bentar," jawab Esti sembari menghabiskan suapan terakhir kemudian dilanjutkan dengan mengikat tali sepatunya. Namanya Estiana Putri Wira Kencana. Adik perempuan dari cowok berkemeja putih tadi, Erlangga Wira Kencana.

"Kelamaan lo, gue tinggal nih!" seru Erlangga.

Esti mendongak. Menatap wajah kakaknya yang menyebalkan. "Yeelah sabar kali! Eh, Bang btw lo mau ngelamar di SMA Andromeda kan?"

Erlangga mengangguk. "Emang kenapa?!"

Esti selesai mengikat tali sepatunya. Ia beranjak kemudian merapikan rok abu-abu dilanjutkan menyandang tas ranselnya. "Gue barusan nonton berita ada tragedi pembunuhan di sana inisialnya AI. Ati-ati loh Bang."

"Alah paling kecelakaan. Udah deh pagi-pagi jangan halu! Kebanyakan nonton TV sih."

Esti berdecak sebal. "Sebagai adik yang baik gue cuma ngingetin lo, Bang! Lagian ada rumor kalau di sana ada murid--"

Belum selesai dengan dialognya, Erlangga menarik lengan Esti dengan kasar. "Suudzon terus, ayo berangkat!"

Esti melepas paksa pegangannya. Dahinya mengerut, bibirnya mengerucut, dan ia menggerutu. "Ih dibilangin ngeyel! Gue sumpahin lo ketemu si pembunuh itu!"

Erlangga mengusap wajah kasar, menghela napas panjang, dan berkacak pinggang. Sungguh pagi yang panjang untuk seorang pria seperti Erlangga. Bagaimana tidak? Tingkah adiknya yang selalu saja memancing masalah, sifatnya keras kepala, serta tak mau mengalah membuat Erlangga tidak betah di rumah.

"Iya Esti," jawab Erlangga mengiyakan meski lubuk hatinya berkata sebaliknya.

Pukul setengah tujuh tepat. Setelah mengantar Esti ke sekolahnya, Erlangga memakirkan motor di parkiran khusus yang bertuliskan 'parkir guru'. Sebelum turun, ia membawa map cokelat di tangannya lantaran bersiap untuk wawancara kerja.

Saat menuju ruang administrasi, tempat Erlangga melakukan seleksi. Ia dikejutkan dengan segerombolan orang berkumpul di gudang. Mulai dari seluruh siswa, wartawan luar tengah melapor kejadian hingga polisi.

Niatnya untuk mengajukan surat lamaran serta interview dadakan pun tertahan. Perhatiannya teralihkan. Erlangga menyeruak, membelah lautan siswa dia penasaran apa yang terjadi di sana. Namun sia-sia Erlangga menerobos di antara siswa. Persis di daun pintu gudang, garis kuning 'do not cross' terpampang memanjang, menghalangi siapa saja yang nekat menyaksikan langsung lokasi kejadian. Juga beberapa polisi berjaga di depannya.

Kemudian cowok itu bertanya kepada seorang jurnalis. "Ada apa ini?"

"Terjadi pembunuhan seorang siswa berinisial AI. Jangan khawatir polisi pasti segera menanganinya," jawabnya sambil terus menulis laporan.

Ternyata benar yang dikatakan Esti. Telah terjadi isu di sini manalagi inisial AI adalah seorang siswi. Erlangga menggelengkan kepala. Ada-ada saja. Batinnya. Tak lupa dengan tujuan ia pun meninggalkan tempat yang penuh siswa. Sepanjang perjalanan menuju ruang administrasi, Erlangga berulang kali mengecek isi map coklat yang dibawanya. Mengeluarkan isi, memeriksa kembali setiap suku katanya.

Psychopath vs Guru Anti-mainstream [✔️END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang