EPILOGUE [ END ]

241 101 12
                                    

Keseimbangan yang dibicarakan lebih memiliki keseimbangan pikiran dalam artian sehari-hari.
-Kang Bucin-

"Ren, Renjana?" panggil Riani.

Renjana tak menghiraukan ia terus berjalan cepat sambil menatap lurus ke depan. Gadis itu sama sekali tak menoleh ke arah Riani meski dia susah payah menyusul langkahnya.

Kesal karena dihiraukan. Riani pun mencekal lengan gadis berambut pendek itu. "Renjana!"

Langkah Renjana otomatis terhenti. Ia menoleh ke arah Riani sekaligus menatapnya kosong. "Ada apa?"

Riani menekuk bibir, memainkan rambutnya yang dikepang. "Kamu masih memikirkan masalah itu?"

Renjana tersadar jika dirasa Riani ada benarnya juga. Renjana menoleh kanan kiri. Sedari tadi gadis itu tak merasakan adanya tanda-tanda yang memakinya. Bahkan mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Aneh.

Renjana menatap Riani bingung. Isi kepalanya dipenuhi tanda tanya. "Sebenarnya apa yang terjadi?"

"Makanya dengerin penjelasanku dulu, Ren." Riani mencoba memberi Renjana keyakinan agar kalau sahabatnya itu benar-benar jujur.

Renjana mengangguk. "Akan kudengarkan."

"Ayo kita ke lapangan belakang!" Senyum Riani melebar. Jawaban Renjana berhasil membuat gadis cupu berkepang dua itu berenergi kembali. Tadinya ia hampir menyerah kalau Renjana tidak akan mendengarkannya. Riani menarik lengan Renjana dengan bersemangat.

Otomatis langkah gadis itu mengikuti Riani. "Kenapa tidak di sini saja?"

Sekarang gantian. Kini Riani yang enggan untuk merespon. Ia fokus ke depan sambil menarik lengan Renjana. Senyumannya melebar, matanya berbinar, dan suasana hatinya juga membaik.

Renjana sedikit heran dengan tingkah Riani yang aneh. Terakhir kali ia melihat Riani nampak membenci Renjana. Malahan dia menolak ke mana-mana bersama. Mengajak ke rumah pun jarang. Renjana pikir ia dibenci lagi oleh manusia. Tapi kenyataannya tak sepahit itu.

Riani malah mengajaknya ke lapangan belakang sekolah meski dalam hatinya memendam seribu pertanyaan. Ada apa sebenarnya?

Sepanjang perjalanan Renjana menyempatkan pandangannya untuk melihat koridor yang dipenuhi siswa. Renjana sudah tidak lagi menjadi pusat perhatian. Mereka juga berhenti melemparkan sampah dan saus busuk di seragamnya. Dan tiada lagi kalimat buruk yang mendarat di gendang telinganya.

Gadis itu merasa sedikit terbebas.
Tapi tunggu apa yang membuatnya terbebas?

Seiring berjalannya waktu. Terkadang manusia dapat berubah wujud sewaktu-waktu. Menjadi baik pada situasi tertentu. Juga dapat menjadi jahat jika dirinya merasa terganggu. Mereka bisa jadi teman atau musuh. Karena ancaman dari luar sangatlah berpengaruh. Memengaruhi jiwa-jiwa yang terang benderang supaya layu dalam larutan sendu.

Seolah memuja-muja kebenaran dalam lingkup maya kehidupan. Menyalahkan yang benar tanpa menganalisa kenyataan. Memilah-milah gosip demi menyudutkan yang berhak mendapat keadilan.

Sesuai arahan Riani, gadis itu telah sampai di lapangan belakang sekolah. Di sana selalu ramai dengan siswa berolahraga. Mereka memakai seragam abu-abu juga biru. Abu-abu untuk angkatan tahun kedua sementara biru untuk angkatan pertama seperti Renjana.

"Jadi apa yang perlu diomongin?" Renjana memulai percakapan.

Riani menepuk dahi. Saking asyiknya melihat siswa di sana olahraga--mungkin gadis cupu itu melihat doinya yang sedang bermain bola melawan kelas satu. Dia sampai lupa kalau ada hal lebih penting dari menonton doi yang harus dibicarakan. Agaknya Riani memaksa Renjana ke lapangan belakang adalah untuk ini, melihat cowok yang dikagumi Riani bermain bola.

Psychopath vs Guru Anti-mainstream [✔️END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang