[ 25. ] Jumat

200 98 5
                                    

Melihat dari sudut pandang filsuf esoteris, kita bisa mulai menyaksikan bahwa serangkaian hal yang sama hebatnya dari dari keseimbangan menjadi penting untuk membuat kesadaran subjektif.
-Kang Bucin-

Kemarin

"Er, gue tau lo di sana. Masuk napa?" Renjana menyuruhnya masuk. Sedari tadi ia perhatikan Erlangga mengintip dari balik pintu.

Sekarang gadis kasar berhati baik itu duduk di atas nakas, lengan yang diperban, dan selimut menutupi kakinya. Dia sempat berdialog dengan Esti sebentar sambil mengobati lukanya dengan perban. Sebelum adik perempuan Erlangga pergi ke rumah temannya untuk mengerjakan tugas kelompok.

"Jangan, Ren. Enggak baik cewek sama cowok bukan mahram berdua di kamar. Apalagi kamu murid saya--"

"Alah sok rohis banget sih jadi orang! Katanya anti-mainstream sini masuk gue mau nanya satu hal. Penting."

"Tanya apa, Ren?"

"Ya makanya masuk sini!" desak Renjana.

"Di sini saja."

Renjana mengacak-acak rambut. Nampaknya gadis itu kesal sendiri. "Shh … lo nyebelin banget jadi manusia! Pantesan gak laku-laku," cela Renjana.

"Kata siapa saya enggak laku?"

"Ish bodo amat! Udah deh Er mending lo ke mari. Buka pintu lebar-lebar, jaga jarak. Selesai! Easy kok! Ato kalo enggak gue mutilasi nih!" ancam Renjana.

Setelah terkena ancaman dari Renjana. Akhirnya Erlangga pun menurut. Namun cowok itu malah menutup pintu sekaligus menguncinya. Membuat Renjana sedikit kejang.

"G-gue bilang bu-buka pintunya! Jangan dikunci!" protes Renjana.

Erlangga tak merespon. Ia justru mengantungi kuncinya.

"E-Erlangga!" Renjana memekik.

Cowok itu mengabaikannya. Dia berjalan ke jendela lalu menyibak gorden hingga menutupi seluruh permukaan kaca. Sehingga tak menyisakan cahaya sedikit pun.

"Erlangga!" ulang Renjana.

Dengan ekspresi yang sulit diartikan Erlangga mendekati Renjana yang ketakutan bukan main.

"L-lo mau ngapain?!"

Erlangga menghentikan gerakannya. "Saya enggak ngapa-ngapain kamu, Ren. Tenang aja. Saya mau cari tombol lampu kok. Di mana ya?"

"Terus kenapa lo tutup jendela sama kunci pintu?!"

"AC-nya nyala, Ren. Saya sengaja menutup jendelanya karena panas."

Renjana tersadar. Jika dirasa Erlangga ada benarnya juga. Sedari tadi ia merasakan hawa dingin yang menyapu pori-porinya. "Terus kenapa sampe dikunci segala?!"

"Pintunya terkunci sendiri kalau ditutup, Ren."

"Ih yang bener aja!" gerutu Renjana.

Setelah menyalakan lampu, dia duduk di ujung bed. Agak berjauhan sedikit dengan Renjana dan pastinya menyisakan jarak yang panjang. Erlangga menatap mata Renjana. "Mau tanya apa, Ren?"

Renjana membuang muka. "Tantangan itu. Lo menang."

Erlangga menghela napas. Dia menaruh telunjuk di pangkal hidung. "Masalah itu ya … sebenarnya saya enggak ngurusin lagi sih."

Renjana terserentak. "Eh? Kenapa?!"

Erlangga beranjak. Ia menaruh kedua tangan di belakang sambil memandang ke luar jendela. "Ya karena saya sudah melupakan itu. Ada hal yang lebih penting dari tantangan."

Psychopath vs Guru Anti-mainstream [✔️END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang