Pribadi dalam berbagai pengertian, seperti juga kecerdasan dalam berbagai pengertian.
-Kang Bucin-Erlangga sudah diperbolehkan pulang dini hari tadi. Cowok itu nekat pergi mengajar meski kondisi tubuhnya masih tahap pemulihan. Padahal Esti sudah memeringatkan keras untuk tetap di rumah. Tapi Erlangga bersi keras untuk tetap ke sekolah.
"Sudahlah Es ... gue gak enak sama guru-guru yang lain," kata Erlangga mencoba meyakinkan adiknya yang khawatir itu.
"T-tapi Bang?!" sergah Esti sambil matanya berkaca-kaca.
"Tenang saja. Abang berangkat dulu." Erlangga melambaikan tangannya pada Esti.
Gadis itu meremas jaket birunya. "Hati-hati." Ini bukan karena perempuan yang bernama Kinan itu kan, Bang? Pikir Esti.
Erlangga memacu motornya menembus padatnya jalanan. Hari ini cowok itu tidak mengantar Esti. Dia memilih naik angkutan umum sebab Esti kasihan dengan abangnya yang baru saja sembuh.
Sepanjang perjalanan Erlangga terpikirkan satu hal. Satu hal yang mengganggu pikirannya akhir-akhir ini. Satu hal yang harusnya dia lupakan ternyata menempel terus dalam ingatan. Makin diabaikan malah semakin terbayang-bayang. Sebenarnya apa maksud semua ini? Apakah dia kembali menemukan perihal yang dulu ia cari-cari?
Ini bukan tentang jebakan masa lalu tapi ini menyangkut kenangan. Kenangan yang tidak dapat memungkiri ingatan. Sebuah kenangan yang membuatnya konsisten menjaga komitmen serta menjadikannya seperti sekarang. Dia ingin mencari untuk apa garis takdir menunjukkan arah seperti ini.
Pukul tujuh lebih lima belas menit. Cowok itu memarkirkan motornya ke tempat khusus parkiran guru. Setelah melepas helm full face serta jaket merahnya, Erlangga langsung berjalan menuju kelas 10 IPA 2. Dia sudah terlambat tak sempat mampir ke ruang guru untuk menaruh tasnya.
Tatkala sampai di depan kelas 10 IPA 1 Erlangga berpapasan dengan Renjana. Keduanya saling melemparkan lirikan tajam. Bukannya saling menyapa seperti yang biasa dilakukan murid lainnya mereka justru pura-pura tidak kenal.
Erlangga terus berjalan tanpa menghiraukan Renjana. Sedangkan gadis kasar berambut pendek itu terhenti lantaran menoleh ke belakang. Melihat sosok Erlangga memasuki ruang kelas dari kejauhan.
Seperti biasa sebelum pembelajaran dimulai, terlebih dahulu Erlangga menyuruh murid-muridnya untuk berdiri lalu menyanyikan lagu kebangsaan. Setelah semuanya selesai barulah Erlangga menempati tempat duduknya kemudian membuka layar laptop. Selang beberapa detik kemudian seorang siswi mengangkat tangannya.
Siswi yang ingin bertanya tersebut menyita perhatian Erlangga. Pandangan cowok itu mengarah padanya. Erlangga terdiam. Membiarkannya bersuara lebih dulu.
"Pak, kenapa tiga hari kemarin saya enggak lihat Bapak?"
"Iya, Pak. Padahal kami rindu sama Bapak," sahut teman sebelahnya.
"Saya ada urusan," jawab Erlangga sekenanya. Alangkah baiknya kalau Erlangga tidak memberitahu semua orang tentang kejadian yang menimpanya tiga hari silam. Dia tak mau terseret masalah begitu dalam.
"Urusan apa, Pak? Urusan mencintaimu belum selesai," goda siswi tadi.
Erlangga memberinya lirikan tajam. Dalam hatinya berkata, "ada-ada saja." Beruntung tidak ada Renjana di sini. Jika saja ada pasti perut gadis itu langsung mual tak keruan. Tentu saja alerginya akan kambuh. Bisa-bisanya Renjana alergi karena rayuan omong kosong.
***
Di dalam kelas. Renjana merogoh sesuatu dari dalam tasnya. Tangannya tak sengaja menyentuh benda dingin dan keras. Penasaran dengan apa yang di dalamnya Renjana pun mengeluarkan benda itu. Mulut gadis itu terbuka. Matanya terbeliak. Tubuhnya memaku. Dan tangannya mengadah. Renjana kaget.

KAMU SEDANG MEMBACA
Psychopath vs Guru Anti-mainstream [✔️END]
Fiksi Remaja"Semua manusia itu baik, kadang kala kita perlu satu individu yang tepat untuk merubah kita menjadi lebih bijaksana." Psychopath tak selalu tentang manusia yang haus darah atau permainan pisau. Psychopath juga tidak melulu tentang unsur kekerasan at...