[ 13. ] Minggu

195 121 12
                                    

Kita bisa menggerakkan materi dengan cara mengamatinya.
-Kang Bucin-


Gadis itu membuka pintu perlahan. Menengok kanan kiri sekiranya aman dia langsung menyusup ke dalam. Melangkah masuk sambil mengendap-endap mencoba senyap tanpa menghasilkan suara.

"Aku pulang," katanya perlahan.

Hening. Dengan percaya dirinya gadis itu memasuki sebuah rumah. Gelap. Pengap. Dingin. Tiada cahaya yang masuk melalui celah-celah jendela. Itulah yang dirasakan gadis muda itu.

Semenjak kejadian itu keadaan rumahnya tidak pernah berubah. Masih sama. Barang-barang yang pecah berserakan ke mana-mana. Debu-debu bertebaran hingga membuat hidung gatal. Dan beberapa perabotan mengalami kerusakan.

Entah mengapa gadis itu berani pulang ke rumah aslinya padahal kemarin-kemarin dia enggan malah bersumpah tidak akan kembali lagi. Tapi adakalanya seseorang melepas rindu pada kampung halaman. Mengenang masa-masa indah ketika kebersamaan terjaga hingga pada suatu saat, sebuah soalan remeh menjadi besar hanya karena satu manusia yang ingkar sumpah.

Langkahnya berhenti sampai di ruang tamu. Ia menolak masuk lebih jauh. Mengingat dirinya nyaris kehilangan nyawa saat menginjakkan kakinya di dapur hanya untuk meminta secuil makanan. Dan terpaksa dia harus menahan lapar hingga waktu yang tak dapat ditentukan.

Kala gadis itu membalik badan dan hendak keluar. Tubuhnya seketika menggeligis panas dingin, matanya membulat bak bola pingpong, mulutnya ternganga, kedua lututnya bergetar, dan langkahnya terhenti seolah ada yang menahan. Gadis itu menelan ludah. Melihat seorang pria tinggi bertubuh besar menghadangnya. Dialah ayah gadis itu, Indra.

"NGAPAIN KAMU BALIK KE SINI LAGI?!" bentak Indra.

"Mengapa? Anda keberatan? Aku berhak tinggal di sini!"

Plak!
Satu tamparan berhasil mengenai pipinya hingga gadis yang malang itu terjatuh ke lantai. Dia mencoba menahan tangis. Sakit rasanya. Ia berusaha bangkit namun Indra tidak memberinya kesempatan. Indra merenggut kasar rambut gadis itu.

Matanya terpejam. Ia nampak meringis kesakitan. Tenaga yang diberikan begitu kuat sehingga berontak pun percuma bukannya terbebas malah memperparah keadaan. Gadis itu pasrah walau nyeri di kepalanya seperti tertusuk seribu jarum.

"PERGI KAMU DARI SINI!!!" usir Indra.

Dia tidak menjawab. Sambil mengernyih gadis itu merintih. "Sakit …."

"GAK USAH BALIK LAGI!" berang Indra sambil menarik erat rambut sang gadis muda itu lantaran dibenturkan ke lantai. Hingga mengeluarkan suara brug yang mengerikan.

Pandangan gadis itu mengabur, tidak bisa berpikir jernih, hanya ada ngilu yang menjalar ke seluruh sistem sarafnya. Perlahan-lahan bulir kristal bening miliknya keluar. Dia menangis tanpa bersuara.

"Biarkan … aku pergi …," rintih gadis itu sembari bersusah payah bangkit.

"Kalau begitu CEPAT!!!" erang Indra penuh penekanan.

Dia mengangguk membisu.

Tatkala dia hampir sampai di depan pintu. Tak sabar dengan gerakan lambat sang gadis muda itu, Indra mengarahkan sebuah tendangan tepat di punggungnya. Keseimbangan sang gadis goyah, dia tak sanggup menopang tubuhnya pada akhirnya raganya terdorong hingga mengenai daun pintu.

Sementara Indra berkacak pinggang sambil terseringai puas seolah tak ada rasa berdosa karena telah menyiksa anaknya. Indra malah senang melihat anaknya menderita. Dalam lubuk hatinya ia ingin menyiksa gadis muda itu lebih bahkan sampai ingin mengurung sekaligus memasungnya di kamar. Persis seperti yang ia lakukan terhadap istri sebelumnya waktu itu.

Psychopath vs Guru Anti-mainstream [✔️END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang