[ 12. ] Sabtu

197 121 7
                                    

Keadaan emosional memengaruhi keadaan tubuh luar kita juga.
-Kang Bucin-


"Ren, kamu sering ke sini?" tanya Riani sambil menatap ke arah yang sama dengan Renjana.

Renjana mengangguk pelan. "Iya."

"Rumahmu di mana, Ren?" tanya Riani lagi.

Lengang sejenak. Renjana tak menjawab, pandangannya masih fokus melihat luasnya perpaduan samudra dengan dirgantara yang bertaut menjadi satu. Riani pun juga ikut terdiam. Dia tahu betul bahwa temannya ini tidak baik-baik saja. Gadis cupu itu kembali menatap samudra.

Sementara si gadis cupu itu menguap. Dia nampak kelelahan setelah seharian begadang hanya karena menemani Renjana. Sesekali ia memejamkan matanya kemudian lambat laun terlelap sebentar lalu tersadar kembali. Begitulah terus menerus berulang kali.

Dari kemarin Renjana berdiam diri di hilir pantai dengan tatapan kosong. Membiarkan dialektika alam terbawa oleh semilir angin menyapu lembut wajah sendu Renjana. Tempat yang Renjana singgahi sekarang ini adalah rumahnya. Sunyi, sepi, damai, tiada keributan yang memicu kekacauan, dan ketenangan di setiap mata memandang.

"Enggak … punya …." Renjana mulai mengeluarkan suara.

Riani menunduk, dia menyesal telah menanyakan hal yang tak sepantasnya ditanyakan. "Maaf …."

"Mengapa lo masih di sini?"

Riani terserentak saat Renjana mulai bersuara. Gadis cupu itu sempat mencemaskan Renjana sebab dari kemarin dia tidak bersuara. Jangankan bersuara berekspresi pun enggan.

"Aku khawatir sama kamu Ren," ucap Riani lirih.

"Orang tua lo lebih khawatir. Udah sana pulang!" usir Renjana.

Riani masih menetap. Gadis itu nekat tidak mendengarkan perkataan Renjana. Mungkin Renjana akan memakinya lagi. Lihat saja nanti.

"Ren, main ke rumahku yuk!" ajak Riani tiba-tiba.

Mendengar tawaran Riani, gadis berambut pendek itu pun langsung menoleh, mulutnya sedikit terbuka, dan menatapnya dengan pandangan tidak percaya. "Ke rumah lo?"

Riani mengangguk semangat. "Iya! Di sana enggak ada siapa-siapa kok! Cuma ada kakak doang sih, orang tuaku lagi kerja. Mau ya, Ren? Daripada kamu di sini terus nanti masuk angin loh."

Antara iya dan tidak. keputusannya dibulatkan pada kedua jawaban itu. Renjana menghela napas panjang. Jika memilih tidak, Renjana akan mati kelaparan di sini juga mungkin dia akan jatuh sakit. Namun sebaliknya kalau Renjana memilih iya, tapi apa benar tidak apa-apa? Setelah semua perlakuannya pada Riani.

"Apa benar tidak apa-apa?" tanya Renjana kaku.

"Tentu saja! Mengapa tidak, Ren?"

"Omong-omong lo kok baik sama gue? Padahal gue suka kasar sama lo dan gue merasa gadis sebaik lo gak pantas temenan ama gue."

Riani menggelengkan kepala. Lalu menyentuh bahu Renjana. "Aku melihatmu dari sisi lain, Ren. Dari sisi yang mana kebaikan dalam dirimu jauh lebih besar dibanding kasar dan kerasnya perkataanmu. Makanya aku tidak takut."

Renjana memeluk lutut. Kalimat Riani barusan sedikit menyadarkan dirinya meski hanya sedikit Renjana keras kepala. Ia tetap pada sifatnya yang baru. Karena inilah jalan satu-satunya supaya ia dapat bertahan hidup dengan kerasnya dunia. Walaupun jauh dalam dirinya ada sesosok anak kecil yang gemetar ketakutan. Persis seperti yang dikatakan Riani.

"Ayo ke rumahku, Ren!" ajak Riani lagi.

Renjana mengangguk, ia segera membereskan barang-barangnya yang tergeletak jauh dari tempat yang basah. "Boleh."

Psychopath vs Guru Anti-mainstream [✔️END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang