Matahari pagi belum sepenuhnya muncul, tapi Lingka sudah terlihat sibuk membantu Ibunya di dapur. Hari minggu, hari yang teramat Lingka tunggu-tunggu. Di mana saat dirinya bisa terbebas dari sosok Samudera. Membahas laki-laki itu memang tidak pernah ada habiskan, cowok itu benar-benar membuktikan segala ucapannya untuk selalu mengikuti Lingka. Membuat Lingka tidak bisa seluasa melakukan aktivitas yang biasa ia lakukan. Seperti melamun di taman, menulis segala perasaannya di taman atau menumpuk batu.
Kehadiran Samudera memang penghalang, Lingka tidak mungkin menujukan kebiasaan anehnya di depan Samudera. Selama berhari-hari tercekik keadaan karena kehadiran Samudera. Maka hari ini adalah hari ia terbebas dari Samudera.
“Nduk tolong cuci piringnya yo.” Rusmi berkata seraya menyerahkan beberapa wadah kotor pada Lingka. Gadis itu mengangguk lantas beralih menuju tempat di mana ia biasa mencuci piring.
Bukan di wastafel melainkan di belakang Rumah. Hanya menggunakan air keran yang mengalir kemudian di tadah dengan ember. Beberapa menit berlalu, pekerjaan Lingka selesai. Gadis itu memutuskan untuk beranjak, ia menghampiri Ibunya.
“Buk,” panggil Lingka. Rusmi menoleh. Tangannya sibuk menutup kotak-kotak katering pesanan tetangga.
“Ono opo?” jawab Rusmi.
Jemari milik Lingka bertaut. Sedikit ragu berkata. Kemarin, sekolah meminta bayaran untuk buku-buku kelas 12 sekarang, dan biaya siswa Lingka tidak termasuk di dalamnya. Jadi, untuk buku keperluan sekolah itu sudah bukan lagi urusan biaya siswa, tapi Lingka yang harus menanggungnya. Total keseluruhan cukup menguras kantong karena banyaknya buku, sedangkan keadaan ekonomi sekarang saja seperti ini.
Lingka jadi tidak tega kalau harus meminta uang pada Ibunya. Tapi, kalau ia tidak secepatnya bilang sekolahnya akan terkendala. Sedikit meyakinkan diri, Lingka kembali membuka suara. “Bu Lingka minta uang,” cicitnya pelan.
Rusmi menoleh. “Buat apa nduk?”
“Ada tarikan buku kelas 12 Bu. Biaya siswa Lingka enggak termasuk beli buku, jadi Lingka harus beli sendiri.” Mendengar penjelasan putrinya, tanpa sadar Rusmi menghela napas pelan.
Gado-gadonya hari ini saja belum laku. Uang DP katering sudah ia pakai habis membeli bahan.
“Berapa?” tanya Rusmi.
“750 ribu Bu.” Helaan napas berat keluar dari dalam hidung Rusmi. Terasa berat sekali. “Ibu enggak punya uang sekarang nduk.” Dengan wajah sayu Rusmi berkata. Ia tidak ingin menutupi apapun pada anaknya.
“Enggak keburu to? Kalau enggak nanti Ibu usahain cari.” Dada Lingka terasa sesak. Masih dengan senyum Rusmi berkata namun, justru membuat sebagian dari diri Lingka tersentil.
Merasa tidak berguna apapun sebagai seorang anak, hanya mampu membebankan Ibunya saja setiap saat. Setiap senyuman lembut yang Rusmi tampilkan hanya semata-mata agar terlihat baik-baik saja di hadapan putri satu-satunya. Berusaha agar bisa menutup segala beban tak kasat mata dan Lingka Cuma bisa menyaksikannya tanpa bisa berbuat apa-apa.
“Lingka minta sama Bapak aja Bu,” ujar Lingka akhirnya. Opsi terakhir, ia butuh secepatnya. Kalau tidak ia bisa tertinggal pelajaran, lagipula teman-temannya sepertinya sudah memiliki semua. Harusnya kemarin-kemarin Lingka bilang, tapi setiap ingin bilang, rasa tidak tega selalu mengelayuti hati Lingka.
Tubuh Rusmi menegak. “Jangan Nduk, nanti Bapakmu marah.” Raut khawatir terlihat jelas di wajah Rusmi. Ia tidak ingin Lingka kembali terluka hanya karena masalah sepele.
Lingka menggeleng. Walaupun sedikit takut kalau tubuhnya akan kembali dipukul. Tapi, setidaknya Ayahnya pasti punya uang. Meminta tidak ada salahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hei, Lingka! [ON HOLD]
Teen Fiction[Follow dulu baru bisa baca] Banyak yang bilang kalau Lingka itu menyeramkan, putih pucat, berambut panjang berantakan dan penghuni taman belakang yang terbengkalai. Tak ada yang berani mendekat. Awalnya hidup Lingka damai meksipun tanpa teman, samp...