Lingka mengembuskan napas pelan berusaha memfokuskan diri pada tugas Bu Murni di hadapannya, tapi gagal. Seberapa keras usaha yang Lingka lakukan akan sama saja, kejadian tadi siang terus mengambil alih pikiran gadis itu. Bukan Samudera yang menjadi fokus utamanya, meskipun Lingka juga sedikit memikirkan sekaligus menyesali tawarannya tadi siang.
Melainkan panggilan khusus dari guru BK. Lingka benci mengakui itu, gadis itu tidak suka mempunyai urusan dengan BK kecuali masalah biaya siswanya, tapi tadi. Bu Indri dengan langsung berbicara soal Buku paket yang hingga kini belum juga Lingka beli.
Bagaimana membeli kalau sampai detik ini saja uang yang ada disaku tas Lingka hanya lima ribu rupiah. Padahal buku itu penting untuk kedepannya nanti, semua materi yang dibahas ada di sana dan gawatnya kalau Lingka tidak punya kemungkinan ia akan keteteran mengerjakan soal-soal yang nantinya diberikan, juga saat belajar nanti.
Lingka menelungkupkan wajahnya pada helai kertas yang beterbaran di meja belajarnya. Rasanya ia ingin menangis memikirkan ini. Lingka sudah cukup tidak enak hati kalau meminta lagi pada Ibunya.
Andai mencari uang itu semudah memetik daun, sudah pasti Lingka akan Lingka lakukan. Mendapatkan uang tujuh ratus ribu dalam waktu satu minggu. Yang benar saja.
Berhutang, tapi Lingka sama sekali tidak tahu harus pada siapa ia meminjam uang kecuali Ayahnya, tapi bukan keputusan tepat mengingat kejadian bulan lalu. Sama saja mengulang hal yang tidak ingin Lingka ulang.
Kepala Lingka seperti terbakar, meminum segelas air putih mungkin bisa sedikit mendinginkan kepalanya. Gadis itu bangkit, keluar dari kamar menuju dapur yang sudah sepi. Ibunya pasti sudah tidur.
Suara gemericik air yang dituangkan ke dalam gelas mendominasi ruangan. Lingka mendudukkan dirinya pada kursi di sana.
Nyatanya meminum segelas air tak cukup untuk mendinginkan otak Lingka yang seperti berasap. Gadis itu melamun. Hingga suara pintu yang terbuka terdengar mengejutkan Lingka disusul sosok Hardi yang masuk.
Tumben. Dalam rangka apa Ayahnya pulang. Lingka hanya menatap sejenak Hardi pada tempatnya. Sama sekali tak berniat menyapa ataupun melakukan hal lain untuk sekedar menyambut Ayahnya. Begitupun Hardi.
Lingka kira Ayahnya akan pergi ke kamar. Namun, saat Hardi justru mendekati Lingka dan mendudukkan diri tepat di depan Lingka. Saat itu Lingka sedikit was-was.
Ada dua kemungkinan kenapa Hardi harus berurusan dengan Lingka. Pertama, ia ingin melakukan suatu hal dan berakhir menyuruh-nyuruh Lingka. Kedua, memukul Lingka. Itu kemungkinan yang Lingka hindari.
“Belum tidur?” Suara itu terdengar lebih rendah dari biasanya. Namun, wajah sangarnya masih saja terlihat.
Lingka hanya menggeleng menanggapi Ayahnya. “Bapak pulang mau ajak kamu cari uang.”
Ha? Lingka tidak salah dengar kan?
“Maksudnya?”
“Bapak mau kasih kamu kerjaan. Kamu butuh uang kan?” tanya Hardi.
“Iya, tapi kerja apa?” balas Lingka. Meskipun ia sangat membutuhkan uang, tapi Lingka juga harus tahu pekerjaan apa yang Ayahnya tawarkan.
Hardi mendengus. “Enggak usah banyak tanya. Kalau mau sekarang kamu siap-siap ikut Bapak. Pakai ini, rambut kamu disisir awas aja kalau sampai kucel.” Pria berpenampilan berantakan itu melemparkan sebuah papper bag pada Lingka.
“Harus sekarang?” tanya Lingka sedikit ragu.
“Iya, enggak usah ngebantah. Cerewet.” Hardi beralih. Tangan Lingka bergerak sedikit membuka apa yang berada di dalam papper bag itu. Sebuah baju.
![](https://img.wattpad.com/cover/263023208-288-k844680.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hei, Lingka! [ON HOLD]
Teen Fiction[Follow dulu baru bisa baca] Banyak yang bilang kalau Lingka itu menyeramkan, putih pucat, berambut panjang berantakan dan penghuni taman belakang yang terbengkalai. Tak ada yang berani mendekat. Awalnya hidup Lingka damai meksipun tanpa teman, samp...