19 - Bukan Orang Asing

1.7K 341 9
                                    

“Sekarang makin deket aja lo sama cewek itu. Ampe lupa nongkrong sama gue.” Wira berkata begitu melihat sosok Samudera datang kemudian mendudukkan diri di sampingnya.

Samudera bergumam tak jelas. Ia tak ingin menanggapi ucapan Wira, karena perutnya perlu ia selamatkan sekarang. Memesan satu mangkuk Mi Ayam dengan segelas es jeruk mejadi pilihan Samudera dikala mendung yang mulai menutupi sinar matahari sore ini.

Warung Mi Ayam Pak Gianto nampak ramai dijam-jam sekarang, padahal hujan sepertinya akan segera turun.

“Kemarin lo ngomong apa sama Ayu?” Wira bertanya dengan mulut penuh gorengan.

Pertanyaan Wira mengingatkan Samudera. Bagaimana kabar Ayu, apakah gadis itu menangis setelah penolakannya kemarin? Ah bodoamat. Lagipula itu resiko, siapa suruh menyukai seseorang yang tidak pernah membalas menyukai.

“Gue nyuruh Ayu berhenti ngejar gue.” Jawaban santai Samudera menimbulkan rasa perih yang menjalar ditenggorokan Wira. Cowok itu tersedak gorengannya sendiri.

Buru-buru Wira menyambar asal es jeruk milik Samudera, menghiraukan tatapan Samudera yang ingin mengajak perang detik itu juga.

“Anjir es gue cok.”

Wira tak menggubris umpatan Samudera. Fokusnya hanya pada topik pembahasan tadi.

“Lo gila ya!” Dari sekian banyak kalimat yang ingin Wira lontaran, cowok itu justru berkata demikian.

“Lo yang gila! Main serobot minuman orang,” sunggut Samudera. Cowok itu merebut kasar gelasnya, kemudian memanggil pelayan warung untuk meminta minuman yang baru.

“Gila sih, parah. Mikir apaan sih lo sebenarnya ha?”

“Mikir gimana caranya musnahin lo dari peradapan.”

“Gue serius Sempak.” Wira mulai mengeluarkan panggilan yang Samudera benci. Entah bagaimana bisa Wira sering memanggilnya ‘Sempak’ ketika kesal.

“Cewek secantik Ayu, lo tolak Cuma demi Lingka yang modelnya gitu. Yaallah otak lo kayaknya udah enggak tergolong Sam.”

Andai Wira itu bukan sahabatnya yang sudah banyak berjasa, ingin sekali Samudera menyumpal mulutnya menggunakan sambal yang ada di meja atau lebih ekstrem lagi, mungkin Samudera akan melakukan hal sama seperti saat Gavin mengolok-olok Lingka.

“Terserah gue, gue mau milih sama batu juga urusan gue. Kenapa lo ribet amat sih, Emak juga bukan.”

“Anjay, heh! Gue sebagai sahabat yang baik enggak mau lo terjerumus sama virus kegilaan si cewek aneh itu.”

“Bagian mana yang lo anggap gila itu?”

“Masih nanya lo? Gue sebut nih. Pertama, sering mojok sendirian, kedua sering bawa-bawa toples nastar enggak jelas atau apalah itu, ketiga penunggu taman belakang sekolah, ke empat sering enggak jelas main-main batu sendirian. Apa namanya kalau enggak gila!” Suara Wira menggelegar membuat seluruh atensi terpusat pada cowok itu.

Samudera menutup wajahnya antara malau bercampur frustasi menghadapi Wira.

Bukan temen gue. Bukan.

Wira mendadak malu. Ia membungkam mulutnya menggunakan tangan, kemudian menundukkan kepala mendekat pada Samudera. Sedikit berbisik cowok itu kembali berujar, “pokoknya enggak banget lo sama Lingka.”

Decakan kesal keluar dari bibir Samudera. Lama-lama ia jadi muak tiap kali bertemu Wira. “Kalau tiap ketemu bahasan lo ini terus, males gue ketemu lo.”

Samudera bangkit. Terlalu lama duduk bersama Wira tak baik untuk kestabilan emosinya. Selera makannya hilang sekejab. Kurang ajar memang.

“Tuh kan! Enggak asih lo, dasar Sempak!” teriak Wira pada Samudera yang sudah beranjak meminta Minya dibungkus,Wira tak menghiraukan orang-ora yang kembali memperhatikannya.

Hei, Lingka! [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang