Rambut panjang Lingka menjuntai hampir menutupi seluruh wajah. Surai lurus sebatas punggung sedikit acak-acakan menimbulkan kesan menyeramkan, terlebih bel sudah berbunyi beberapa menit yang lalu, tapi Lingka masih bertahan duduk di taman belakang. Ia butuh udara segar, masalah pulang itu urusan nanti. Ia masih bisa naik bis ke dua kalau tertinggal bis pertama walaupun harus menunggu cukup lama.Gadis berkulit putih pucat itu berjongkok, menyusun tumpukan batu satu persatu sampai menggunung. Kurang kerjaan, memang. Lingka bosan. Pulang ke rumah hanya membuat batinnya tersiksa. Tak ada rasa nyamannya sama sekali, andai bisa. Lingka lebih memilih pergi.
Keadaan sekolah belum sepenuhnya kosong. Masih ada suara sahut menyahut anak ekstrakurikuler futsal dari dalam gymnasium. Lingka melamun, banyak hal yang mampir di otaknya. Sebentar lagi masanya akan usai. Lingka sadar kalau dirinya telah menginjak kelas 12 artinya sebentar lagi akan menghadapi kehidupan yang sebenarnya, tapi Lingka tak pernah yakin akan kenyataan itu.
Segala ketakutan selalu membayangi Lingka setiap saat. Tak pernah bertanya apa Lingka akan baik-baik saja atau justru jatuh terpuruk memikirkan masa depannya. Entahlah, terlalu rumit kalau memikirkannya.
“Lingka, kenapa masih di sini?” Lamunan Lingka buyar seketika. Ia menoleh menemukan Samudera berdiri menggunakan jersey futsal berwarna dominan hitam khas seragam SMA Cakra Dirgantara. Rambut cowok itu terlihat berantakan serta peluh membanjiri wajah.
Kening Lingka berkerut samar. Kenapa manusia seperti Samudera harus ada di sini.
“Gue ngajarin anak futsal.” Tanpa diminta Samudera menjelaskan alasannya. Lingka tak peduli akan itu, melihat kehadiran Samudera didekatnya membuat muak. Ketenangan yang ia cari hilang.
Lingka bangkit. Menyambar tasnya yang sejak tadi ia letakan di atas kursi taman. Namun, tubuh Samudera menghadang tepat berdiri di depan Lingka.
“Mau pulang? Gue anter ya?”Lingka tak pernah tahu apa yang sebenarnya Samudera pikir. Kenapa cowok itu mau repot-repot menawarkan tumpangan.
Tawaran Samudera tak berbalas. Lingka mengacuhkannya memilih menerobos tubuh Samudera. Cowok bertubuh 176 itu berdecak kesal. Ia berbalik lantas mengikuti kemana kedua kaki Lingka membawa.
Gadis itu terlihat tidak nyaman, tapi Samudera pura-pura tak peduli. “Lo pulang sama siapa?” Samudera terus mengoceh di samping Lingka.
Kaki Lingka berusaha mempercepat langkah. Melewati gedung Gymnasium, sosok Samudera hilang. Cowok itu berlari masuk ke dalam gedung—mengambil barang-barangnya yang ia tinggal. Berpamitan pada anak futsal lainnya.
Kesempatan bagi Lingka. Melihat Samudera menjauh, gadis itu berlari. Samudera keluar dari gedung terperangah memperhatikan Lingka sudah terlampau jauh memasuki lobby. Samudera berlari menimbulkan goncangan tas di punggungnya.
Peluh membasahi kening Lingka, berlari membuatnya lelah serasa dikejar polisi karena ketahuan mencuri. Lingka memutar kepalanya beberapa derajat. Suara Samudera terdengar dekat di belakang.
Melihat cowok tinggal berjarak dua materi dari Lingka. Lingka mempercepat lajunya, tinggal beberapa meter lagi sampai gerbang, tapi takdir sepertinya tidak mengijinkan Lingka menang. Tubuh Lingka tersungkur membuat gadis itu terduduk di halaman parkiran.
Suara Samudera terdengar keras memanggil nama Lingka. Diikuti tubuh cowok itu yang berjongkok tepat di depan Lingka.
“Lo enggak papa?” Wajah Samudera tertunduk berusaha melihat wajah Lingka dari bawah. Rambut gadis itu terjuntai ke depan.
Tatapan mata Samudera beralih memeriksa segala sisi tubuh Lingka. Perhatian Samudera tertuju pada telapak tangan Lingka yang terluka, mengangkatnya kepermukaan lantas memeriksanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hei, Lingka! [ON HOLD]
Ficțiune adolescenți[Follow dulu baru bisa baca] Banyak yang bilang kalau Lingka itu menyeramkan, putih pucat, berambut panjang berantakan dan penghuni taman belakang yang terbengkalai. Tak ada yang berani mendekat. Awalnya hidup Lingka damai meksipun tanpa teman, samp...