Chapter 10

2.5K 149 0
                                    

Vivian dipanggil ke kamar Alexia keesokan paginya, terlepas dari kemauannya sendiri.

Setelah ia dimandikan dan dipercantik secara paksa di bawah perintah Alexia, Vivian menerima pil yang akan membuat tenggorokannya sakit.

Terlepas dari rasa sakit dan penderitaan yang harus Vivian tanggung, Alexia masih tidak menunjukkan sedikit pun rasa simpati sama sekali.

"Apakah kau mengerti? Kau tidak bisa tertangkap, apa pun caranya. "

Lalu, seperti biasanya, Alexia mengakhiri kata-katanya dengan meninggalkan Amanda sendirian untuk berada di sisi Vivian. Ia bahkan tidak menunjukkan penyesalan apa pun, meskipun ia memiliki beberapa pelayan yang siap dipanggil.

"Vivi, kau baik-baik saja?"

"Tidak, Aku tidak baik-baik saja. Kenapa orang itu memanggilnya?"

Apakah karena kata-kata yang aku ucapkan kemarin; 'Mari bertemu lagi lain kali'?

Vivian menggelengkan kepalanya memikirkan pikirannya itu. Tidak mungkin sapaan seperti itu akan menggerakkan pria yang seperti benteng besi itu.

Vivian menggerutu selagi cemberut sambil mengeluarkan erangan yang menyakitkan.

Ada bengkak besar di pipi kanannya yang tersembunyi oleh topi besar itu. Pada akhirnya itu disebabkan oleh tamparan mendadak Alexia kemarin.

"Ini bukanlah masalah besar. Seperti kemarin, pergilah ke sana dan kembali lagi. Itu akan baik-baik saja."

"Aku berharap begitu."

Vivian perlahan menghela napas. Mungkin karena pipinya yang bengkak, ia tidak bisa menggerakkan mulutnya dengan benar. Vivian merasa terganggu karena pipinya yang bengkak telah menghalanginya untuk berbicara ketika ia benar-benar harus meniru tingkah laku Alexia secara sadar.

Rasanya seperti gerbong tiba lebih cepat dari kemarin. Vivian turun dari gerbong.

Sebelum mencapai rumah Grand Duke. Orang- orang disana seperti sudah biasa, seolah-olah mereka tahu waktu yang tepat setelah kedatangannya, kepala pelayan dan beberapa pelayan sudah ada di sana untuk menyambut Vivian.

"Anda tepat waktu. Sebenarnya ini waktunya bagi Tuan untuk makan, namun dia tidak ingin kita menunggunya. Apakah Nona keberatan mengambil alih? "

"Iya? Tapi!"

Kepala pelayan segera menyerahkan nampan itu ke tangan Vivian yang kebingungan.

Cukup sulit untuk membedakan bahwa makanan yang disiapkan adalah untuk Grand Duke. Diantara piring-piring kecil. lauk pauk dan semangkuk bubur, terdapat banyak pil yang sangat sulit untuk dipahami dengan sekilas.

"Saya mohon, jika Anda mau."

Vivian kemudian segera menerima nampan dari kepala pelayan putus asa yang menundukkan kepalanya dengan sungguh-sungguh.

Vivian menghela nafas frustasi terhadap kebiasaannya sebagai pelayan yang tidak bisa menolak permintaan dari seseorang dengan status yang lebih tinggi selagi ia berdiri di depan kamar Grand Duke.

Ruangan itu terbuka dengan hati-hati, memperlihatkan interior gelap yang sama seperti sebelumnya.

Jika ada yang berbeda, itu adalah tirai yang tadinya menutupi tempat tidur sudah diangkat hari ini, sementara Pria itu disandarkan dalam kesiapan. Ia tampak seolah-olah sudah menunggu kedatangan Vivian.

Vivian sudah menduganya, tapi hatinya segera mengepal saat melihat pria itu. Kemana perginya semua amarah yang menggelembung dari panggilan Nona Muda? Hanya perasaan menghadapi orang itu yang tersisa di dalam hati Vivian.

Selagi Vivian memegang nampan sambil mendekat disisinya, Pria itu dengan cepat mengangkat kepalanya ketika ia merasakan kehadiran Vivian yang semakin dekat.

"Kau disini?"

"Alexia Britton menyapa Grand Duke."

Vivian menyapanya dengan sopan sebelum meletakkan nampan. Kemudian, Vivian langsung melepaskan topinya saat menyadari ada tempat duduk yang sudah disiapkan untuknya, tidak seperti sebelumnya.

Vivian menelan napas saat pemandangan wajahnya menjadi jauh lebih terlihat setelah diungkapkan oleh topinya yang tidak tertutup. Wajahnya yang bengkak akibat tamparan Nona Muda semakin terasa sakit seiring berjalannya waktu.

"Apa terjadi sesuatu?"

"Ya, ya?"

"Sepertinya kau sedang marah."

Tubuh Vivian mulai gemetar secara berlebihan menanggapi kata-kata Grand Duke. Ia bahkan belum mengatakan apa-apa, namun pria itu sudah mengamati perasaan Vivian dengan sangat detail. Vivan segera bingung karena ia hampir tidak berhasil memperbaiki perasaannya saat ini.

"Tentu saja tidak. Sebenarnya tidak ada yang istimewa. Selain itu, sama sekali tidak ada yang perlu dimarahi di hadapan Grand Duke. "

"Aku tahu."

Grand Duke menanggapi selagi ia mengusap dagunya pada kata-kata Vivian.

"Meski begitu, kau tetap marah tepat di depanku, meski tidak ada yang istimewa yang terjadi."

"Aku berkata, Aku tidak marah."

Vivian langsung tersinggung, mengeluarkan nada kasarnya yang tidak disengaja, tapi itu sudah terlambat.

Cara bicara Vivian yang kasar membuatnya semakin jelas, Vivian akhirnya menghela nafas selagi ia mengaku.

"... Bagaimana kau bisa tahu?"

"Hanya karena Aku tidak bisa melihatnya, bukan berarti aku juga tidak bisa mendengar. Sangat mudah untuk membedakan perbedaan intonasimu."

"Kau sangat tanggap."

Tentu saja, dengan indranya itu pantas saja dia disebut monster.

The Monstrous Grand Duke's Fake LadyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang