PROLOG

1.1K 54 13
                                    

Pembawa sial! Dasar anak haram!

Seorang gadis berusia enam belas tahun membuka kelopak matanya perlahan hingga menampakkan iris mata berwarna cokelat terang. Ditatapnya pantulan diri di cermin rias tanpa ekspresi. Rangkaian kata-kata menyakitkan itu kembali menggema di pikiran, memanggilnya untuk mengingat kembali monster yang selama ini sudah dia kubur. Sialnya, monster yang dia namai masa lalu itu kembali menggebrak dinding-dinding ingatannya.

Setiap orang pasti memiliki kenangan yang bersemayam di ingatannya. Kenangan yang membahagiakan membuat orang-orang tersenyum ketika mengingatnya. Tak heran jika ada beberapa dari mereka yang ingin kembali ke masa lalu dan mengulang masa-masa menyenangkan itu.

Lain halnya dengan Aureliana. Baginya mengingat masa lalu seperti mengorek borok yang masih basah. Terasa sakit dan perih. Cerita-cerita buruk nan menyedihkan itu harusnya enyah bersama waktu. Namun, waktu tak juga berpihak pada gadis itu. Lukanya masih berada di sana, tak kunjung sembuh.

Beberapa pertanyaan menggelayut di otaknya. Tahu apa orang lain tentang kelayakan hidup seseorang? Apa mereka sudah bisa menjadi hakim yang adil bagi orang lain? Apa mereka itu Tuhan? Percuma. Tidak ada seorang pun yang akan menjawab pertanyaannya karena selama ini pertanyaan-pertanyaan itu tak pernah terucapkan.

Jika memang dia adalah pembawa sial seperti yang dikatakan orang-orang, sungguh –jika saja bisa– dia akan meminta pada Tuhan untuk dihapus dari daftar calon manusia. Berharap Tuhan akan mempertimbangkan kembali kelayakannya untuk hadir di dunia fana. Namun kenyataannya dia dilahirkan dari rahim seorang wanita yang tidak menginginkan dirinya. Membiarkannya terlahir ke dunia, tetapi tidak bertanggung jawab untuk merawat dan melindunginya.

Seumur hidupnya dia tidak pernah merasakan pelukan hangat dan kecupaan tanda sayang dari orang tua. Tentu saja dia pernah merasa iri, melihat betapa bahagia teman-temannya memiliki orang tua yang penuh kasih sayang. Dia hanya bermain dengan angan-angan tentang sosok orang tua. Seorang ibu yang membuainya dengan nyanyian pengantar tidur dan seorang ayah yang mengajarinya tentang keberanian. Seandainya dia tidak dibuang, akankah orang tuanya merawat sepenuh hati?

Jangan mau berteman sama dia! Nanti kena sial.

Kalimat lainnya malah sengaja datang mengolok-oloknya. Dia mengembuskan napas pelan, lalu seulas senyum getir muncul di wajah tirus gadis itu. Apa arti teman? Gadis itu kesulitan untuk mendefinisikan. Sejak kecil kesendirian adalah satu-satunya teman dalam hidupnya. Haruskah dia merasa iba pada diri sendiri?

Waktu berumur enam tahun dia sama sekali tidak mengerti dengan perkataan itu. Namun, dia terluka karena dikucilkan. Awalnya dia tidak mau mempercayai bahwa dirinya adalah pembawa sial, tetapi peristiwa buruk yang terjadi pada langsung dikaitan kepadanya. Membantah, mengelak atau apa saja istilah yang dipakai untuk membela diri seakan tidak berguna. Gadis kecil itu hanyalah pembawa bala bagi sekitarnya. Hingga akhirnya dia dipaksa oleh keadaan untuk meyakini hal itu bawa sumber segala petaka adalah dirinya.

Cantik, sih, tapi nggak jelas mirip siapa. Dia, kan, nggak punya orang tua.

Cantik? Dia tersenyum sinis saat mengucap kata itu. Orang bilang jika seseorang memiliki paras cantik biasanya dia akan diperlakukan istimewa layaknya seorang putri. Nyatanya paras gadis itu justru menjadi bahan perundungan. Cantik tetapi tidak jelas asal usulnya, itu yang selalu dikatakan teman-teman perempuannya saat masih di sekolah dasar. Hatinya seolah tertusuk benda tajam ketika kenangan di masa kecil berebutan tampil di ingatan.

Jemarinya bergerak menuju cermin, lalu membelai lembut bayangan kedua pipi. Betapa menyedihkan gadis yang berdiri di hadapannya. Dia mengigit bibir bagian dalam ketika batu-batu dalam dadanya semakin menyesakkan. Teka-teki akan kehidupannya yang tidak kunjung berbuah jawaban.

Matanya mulai terasa panas, lalu selapis bening membayang. Dia menyilangkan kedua tangan di masing-masing bahu, merengkuhdirinya sendiri ke dalam pelukan. Sesak itu semakin menggila, kepahitan di masa lalu sukses membuat gadis itu tumbuh menjadi seseorang yang memendam perasaannya sendiri. Perlahan matanya mulai basah dan dia menangis dalam diam.

Usahanya untuk menghempaskan monster itu pun selalu gagal karena masa lalu selalu berhasil berdiri di depannya, menggeser masa depan ke posisi paling belakang di hidupnya. Selalu sendiri adalah takdir dan masa depannya. Tak ingin bercengkerama terlalu lama dengan monster itu, dia menyeka air mata dan memaksakan kedua sudut bibir terangkat. Kini dia benar-benar merasa kasihan pada pantulan dirinya di cermin.

Dia menyibakkan rambut ke belakang telinga dan membiarkan rambut hitam kecokelatan terurai menutupi punggung. Setelah memulas bedak tipis ke wajahnya, dia mengenakan kacamata dengan frame bulat. Ditatapnya lagi wajah cantik yang selama ini selalu ia sembunyikan dari orang-orang.

"Hai, Aku! Apa kabar?" Gadis itu mulai bermonolog.

"Maaf kalau selama ini aku tidak bisa menjagamu dengan baik. Bertahun-tahun aku memaksamu untuk bertahan dengan situasi yang tidak baik-baik saja. Aku tahu kamu pasti sangat terluka. Iya, kan?" ucapnya pelan nyaris berbisik pada kalimat terakhir.

"Sudah lama aku ingin menanyakan hal ini kepadamu, tapi aku selalu ragu. Ketakutanku selalu berhasil menyapu bersih keberanian yang aku kumpulkan dengan susah payah. Aku yakin kamu pasti melihat usahaku yang berujung sia-sia," katanya sambil tersenyum miris.

Gadis itu memberi jeda sebelum melanjutkan lagi perkataannya. Sejenak, ia menikmati semilir angin yang masuk melalui jendela kamarnya. "Kalau begitu aku akan tanyakan semua kepadamu hari ini. Apa kamu tidak merindukan kebahagiaan? Oh, harusnya aku bertanya, apa kamu pernah merasa bahagia?" ujarnya sambil mencari-cari jawaban pada manik matanya di cermin.

"Kamu tidak mau menjawab? Baiklah. Aku tanyakan hal lainnya. Kapan kamu bisa berdamai dengan monster itu? Apa kamu tidak lelah dikejar-kejar terus?" tanyanya lagi.

Gadis itu menata rambut di sebelah kanan hingga hampir menutupi setengah wajahnya, lalu tersenyum kecil. "Aku tidak marah kalau kamu tidak menjawab pertanyaanku. Justru aku mau berterima kasih karena kamu sudah mau bertahan hingga hari ini bersamaku. Terima kasih, Aureliana."

***

AurelianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang