BERDUA SAJA

94 19 1
                                    



Satu-satunya yang tidak pasti hanyalah ketidakpastian.

Will baru saja selesai berbicara dengan Pak Emon di ruang guru. Tinggal beberapa hari olimpiade matematika tingkat provinsi akan digelar. Persiapan harus semakin matang. Begitu wejangan Pak Emon kepada Will. Setelah semua selesai, Will hendak keluar dari ruang guru.

Netranya menangkap sosok Lia yang sedang berada di dekat meja Bu Inayah. Cowok itu menghela napas pelan. Ada sesuatu yang masih mengganjal di perasaannya tiap melihat gadis itu. Namun, ingatannya akan perlombaan yang semakin mendekat kembali membuatnya fokus. Will memilih untuk berlalu dari ruangan itu.

Ketika hampir mencapai pintu ruang gur, seseorang memanggil Will dengan suara nyaring. Ia tahu betul siapa yang memanggilnya. Benar saja Bu Inayah sedang melihat dan tersenyum kepadanya.

"Ya, Bu?" tanya Will yang sudah berada di dekat meja Bu Inayah.

"Kebetulan kamu di sini, Will. Ibu minta tolong sama kamu."

"Minta tolong apa, Bu?" tanyanya sopan.

"Tolong temani Lia untuk mengawasinya mengerjakan tugas kimia. Siapa tahu tugasnya menghilang lagi seperti kejadian minggu lalu."

Mata Lia membelalak, tidak menyangka kalau Bu Inayah memiliki ide seperti itu. Merasa terdesak, Lia berusaha menolak keinginan Bu Inayah. "Bu, saya bisa sendiri. Mungkin Will sedang si ...."

Bu Inayah menurunkan sedikit kacamatanya. Kedua mata itu menatap Lia tajam. "Saya ingin memastikan bahwa semua akan berjalan baik-baik saja. Ada orang yang bisa dijadikan saksi, jika sekali lagi tugas kamu hilang."

Lia mengigit bibirnya. Bu Inayah memang tidak bisa dibantah. Kalau sudah begini, mau tidak mau Will akan bersamanya selama mengerjakan tugas susulan.

"Sudah nurut saja. Will juga tidak protes," kata Bu Inayah menutup perbincangannya. Setelah berpamitan, mereka berdua berjalan menuju arah yang sama. Laboratorium Kimia. Sepanjang perjalanan itu masing-masing sibuk dengan pikirannya. Penuh dengan kata-kata yang tidak terungkapkan.

Sementara itu, seseorang merasakan gemuruh dihatinya ketika melihat kedua insan itu bersama. Padahal baru saja hatinya berbunga-bunga dan kini bunga-bunga itu menjadi layu. Menyelesaikan tugasnya secepat mungkin, Thora segera masuk ke ruangan itu untuk menemui Claudia. Setelahnya, ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya disembunyikan oleh mereka berdua.

***

Deretan tabung berjajar rapi di sana. Lia memilih tabung-tabung yang akan ia gunkaan sekali lagi untuk mengganti larutannya yang hilang entah kemana. Kalau saja tugasnya tidak hilang, ia tidak akan berada di sini sendirian. Ralat. Berdua dengan Will.

Sayangnya, hingga sekarang, Lia belum tahu dalang dibalik kesialannya itu. Begitu juga dengan buku matematika yang entah kemana. Lia bahkan sampai merapikan kembali seisi kamarnya, barang kali buku itu terselip di dalam kamar. Namun, ingatannya tak pernah melest. Buku itu memang sengaja dicuri oleh pelaku.

"Kayaknya lo sering banget kehilangan tugas," komentar Will yang bersandar pada tembok dekat pintu. Kedua tangannya menyilang di depan. Matanya mengikuti gerak-gerik Lia sedari tadi.

Lia tidak kaget saat Will mengatakan itu. Waktu ia datang ke Pak Emon untuk membicarakan tugas tambahan, Will berada di sana. Pasti cowok itu mendengarnya.

"Ada yang iseng sama gue," jawab Lia jujur tanpa melempar pandangannya ke Will. Gadis itu menaruh KMnO4 dalam tabung Erlenmeyer. Kemudian meraih tabung lain untuk menuangkan air.

Tanpa Lia sadari, Will berada di depannya dan Will menahan tangan Lia. "Harusnya lo timbang dulu. Jangan asal comot gitu aja."

Benar yang dikatakn Will. Saking ingin cepat selesai, ia mengabaikan detail tugas baru yang Bu Inayah berikan padanya. Gadis itu kemudian mulai sibuk menghitung berapa gram yang ia butuhkan untuk membuat larutan Kalium Permanganat 0,01%.

"Tugas lo hilang apa ada hubungannya sama gue?" tanya Will kemudian. Dengan beredarnya gosip yang mengaitkan namanya dan Lia bia dijadikannya sebagai alibi. Juga kasus Tika yang melabrak Lia di kantin.

Lia ragu untuk menjawab karena dugaan sementaranya adalah iya. Bukunya hilang karena Tika cemburu pada Lia. Namun, ia belum punya bukti kuat kalau memang Tika lah pelakunya.

"Nggak ada," tegas Lia sambil meletakkan tabung-tabung di atas meja. Kemudian sibuk mencari buku kimianya untuk membaca kembali prosedur pembuatan larutan itu.

Will berdecak sekali. "Lo itu sok tangguh, padahal rapuh."

Tubuh Lia menegang. Komentar Will sangat menggangu indera pendengarannya sampai-sampai hatinya terasa ditusuk-tusuk ribuan jarum. Sakit sekali.

"Lo sering banget bohong buat nutupin masalah. Padahal hati lo tersiksa. Gue nggak buta. Gue tahu foto-foto kita ke sebar dan jadi bahan gossp satu sekolah." Will memberi jeda di antara mereka berdua, tetapi Lia tidak juga berkomentar. "Kalau itu memang ada hubungannya sama gue, lo bisa bilang. Gue nggak suka, ada orang jadi korban ara-gara digosipin sama gue."

Lia berbalik, menatap Will tepat pada kedua maniknya. "Apa lo sepeduli itu? Bukannya lo nggak suka dekat sama orang lain? Kenapa sekarang lo seolah nawarin bantuan?"

Pertanyaan-pertanyaan Lia begitu menohok perasaan cowok itu. Keduanya terdiam. Lia masih menatap Will, menunggu jawaban.

Will berdeham, lalu berkata, "Beresin tugas lo. Gue pengen cepat pulang."

Lalu Will memilih menyingkir dari Lia dan kembali ke tempatnya semula. Will memperhatikan gadis itu dari jauh. Ia sendiri pun tidak mengerti, mengapa dia ingin sekali melindungi Lia yang baru saja dikenalnya.

***

Will keluar terlebih dahulu setelah memastikan Lia menyelesaikan tugasnya. Lia bernapas lega. Tidak hanya karena tugasnya yang sudah selesai, tetapi juga karena ia tidak lagi berduaan dengan Will. Bisa saja ada yang membuat moment barusan menjadi bahan gosip berikutnya. Tika pasti akan semakin kesal kepadanya. Apalagi, Lia terpilih untuk menggantikan posisinya sebagai perwakilan kelas.

Setelah menutup pintu laboratorium, Lia tidak lantas bergerak dari pijakannya. Kedua tangannya masih memegangi pintu. Ia menghela napas panjang. Apa yang akan terjadi besok, ketika Tika sudah kembali ke sekolah? Tika yang membencinya selalu sukses membuat luka di masa lalu Lia kembali mencuat.

"Duh, yang bakal jadi perwakilan putri kartini sampai serius gitu ngelamunnya," goda Thora yang sudah berada di dekat Lia.

Rupanya berita cepat sekali menyebar. Thora pun tahu tentang itu. Gadis itu menatap sinis ke Thora yang tersenyum semringah. Ini tidak adil. Melihat cowok itu begitu bahagia sementara dirinya kebingungan. Bertahun-tahun dikucilkan membuatnya jadi serba canggung jika ditatap banyak orang. Dirinya belum terbiasa dengan hal seperti itu. Dan Thora tidak tahu itu.

"Tuh, ngelamun lagi, kan?" Thora menyadarkan Lia kembali.

"Thor, kenapa lo belum pulang? Emang lo nggak ngurusin stand pameran kelas?" usir Lia secara halus. "Lo kan ketua kelas," lanjutnya.

"Tenang. Gue kan punya anak buah. Pokoknya beres semua." Kedua tangannya membentuk tanda oke dengan senyum lebar khas bintang iklan pasta gigi.

Lia mendengkus sebal. Cowok ini selalu punya alasan untuk berkelit. Yang ujung-ujungnya bisa ditebak, kalau dia akan kena hukuman dari wali kelasnya.

Kaki Lia kembali melangkah, pikirannya tiba-tiba terasa penuh. Lagi, satu-satunya yang tidak pasti hanyalah ketidakpastian.

***

AurelianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang