Kamu begitu jauh untuk dijangkau.
Ibarat dasar laut dan langit, itulah jarak antara aku dan kamu.
Ada sesuatu yang mengganjal pada perasaan Lia, ketika ia berjalan menuju ke kelasnya. Beberapa pasang mata selalu melihatnya. Meski Lia hanya menunduk tapi dia bisa merasakan bahwa pandangan-pandangan itu mengarah kepadanya. Lia berusaha menggubrisnya, membiarkan bahwa hal itu seolah-olah delusinya saja.
Saat ia masuk ke kelas, ternyata hal itu benar-benar terjadi. Bisikan-bisikan dan tatapan mengintimidasi begitu kentara. Termasuk Tika dan teman-temannya yang secara terang-terangan menatapnya sinis, menujukkan rasa tidak suka. Hati Lia terasa lega ketika melihat Reina sudah berada di bangkunya.
Segera Lia menghempaskan bokongnya di kursi samping jendela dan menyapa Reina. Namun, Reina hanya menggumam singkat. Senyum yang sempat muncul di wajah Lia memudar. Reina bersikap tidak seperti biasanya. Jika Lia hanya bicara 10 kata, teman sebangkunya ini bisa sampai 100 kata. Begitu pula sapaan singkat itu, pasti akan Reina balas dengan celotehan-celotehannya.
Dadanya kembali terasa sesak. Suasana ini tidaklah asing baginya. Sikap acuh tak acuh yang dulu menjadi makan sehari-harinya. Ada sesuatu yang tidak beres, Lia yakin itu. Kemudian bel berbunyi nyaring. Sesaat Lia menghempaskan kebingungannya dengan fokus pada pelajaran yang akan dimulai.
***
Sampai bel istirahat kedua berbunyi, Reina masih tetap bungkam. Keduanya seperti orang yang baru kenal, terlihat canggung satu sama lain. Reina tidak pernah absen mengajak Lia untuk pergi ke kantin bersamanya. Tetapi tidak kali ini. Tanpa sepatah kata pun, gadis berambut sebahu itu melenggang pergi tanpa menoleh pada Lia.
Sesampainya di kantin Reina langsung memesan sesuatu. "Mbak, mau pesan dua botol air mineral, roti kukus rasa keju satu, sama rasa cok ...." Ucapan Reina terhenti, lalu mengembuskan napas kasar. "Mbak, air mineral satu sama roti kejunya aja satu, ya,"lanjutnya mengubah pesanannya.
Sambil menunggu pesanannya, gadis itu terduduk di bangku panjang sambil melamun. Baru saja ia hampir memesan makanan dan minuman juga untuk Lia. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, tampak sedikit menyesal dengan aksi diam seribu bahasa yang ia lakukan sejak pagi tadi.
Bukan tanpa alasan Reina melakukan hal itu. Kemarin sore, seharusnya Lia pergi bersamanya ke toko buku. Mereka sudah merencanakannya sejak seminggu lalu. Sayangnya Lia tidak bisa menepati janji karena ia punya urusan mendadak yang tidak bisa ia tunda. Reina yang merasa kecewa mencoba memaklumi alasan Lia.
Reina menghela napas pelan, lalu satu sudut bibirnya terangkat ke atas. Apa yang sebenarnya Lia sembunyikan dari Reina? Sampai-sampai gadis itu berbohong padanya.
"Eh ... Neng Reina."
Sapaan itu makin membuat mood Reina semakin buruk. Mukanya berubah masam. Hampir saja ia ingin berteriak sambil mengumpat. Untung Reina masih dalam mode waras, sehingga ia tidak perlu mempermalukan dirinya di kantin.
"Asem banget mukanya. Kalau diadu sama lemon, pasti muka Neng Reina yang menang," goda Satrian sembari mengedipkan mata sipitnya beberapa kali.
Dipuji dengan kata-kata manis oleh Satrian saja membuat darah Reina naik ke puncak kepala. Apalagi dikatain seperti itu. Murka Reina sudah seperti gunung merapi yang siap meletus.
"Minggir lo," ketus Reina sambil bangkit setelah menerima pesanannya. Gagal sudah rencananya untuk menenangkan diri di kantin. Ia malah disambangi oleh cowok nggak jelas seperti Satrian.
Bukan Satrian namanya kalau dia menyerah. Kedua tangan cowok itu terbuka lebar, badannya bergerak ke kiri ke kanan. Mirip gerakan orang yang sedang melakukan pemanasan saat senam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aureliana
Novela JuvenilDAFTAR PENDEK THE WATTYS 2021 Kalau saja bisa, Aureliana akan memohon pada Tuhan untuk membatalkan kehadirannya sebagai manusia di dunia. Selama enam belas tahun, gadis yang dijuluki Cewek Kutub itu hidup dalam ketidaktahuan tentang siapa dirinya. S...