Mencari Lia di sekolah harusnya tidaklah sulit. Sekolah mereka tidak terlalu luas dan tempat-tempat pun bisa dijangkau dengan mudah. Apalagi Satrian dan Zain turut membantu Reina. Mereka berpencar ke penjuru sekolah. Satrian mencari di wilayah kantin dan gudang. Reina mencari di koridor kelas X. Zain memeriksa deretan kelas XII. Sementara Thora berkeliling ke seluruh bagian sekolah. Cowok itu tidak mau ada satu bagian pun yang terlewat.Zain membungkukkan badannya, memegangi lutut yang seperti akan lepas dari engselnya.
"Udah nemu belum?" tanya Satrian yang berpapasan dengan Zain di depan kelas XII IPA 2 yang berdekatan dengan kantin.
Zain meluruskan punggungnya, memandang Satrian. "Kalau udah nemu, orangnya pasti ada sama gue." Zain mencebik. "Coba deh biasain mikir. Lo tuh sering banget kalau ngomong nggak mikir," gerutu Zain yang membuat Satrian memelotot tak percaya.
Satrian tidak menggubris pernyataan Zain, ia kembali bertanya, "Lo cari dimana aja barusan?"
"Semua kelas XII udah gue liatin. Sampai kolong-kolong meja juga gue periksa," jawabnya polos.
Nah, kan. Sekarang terlihat siapa yang sering tidak mikir. Satrian menggusah naoas kasar, menggelengkan kepala beberapa kali. "Bisa gila gue ngomong sama lo," sindir Satrian seraya berlalu pergi meninggalkan Zain yang melongo di pijakannya.
Sementara itu Thora berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan cepat. Pikirannya kacau. Ia khawatir kalau Lia melakukan sesuatu yang nekad. Sesuatu yang membahayakan nyawanya. Hampir seluruh bagian sekolah sudah ia jelajahi, tetapi tak kunjung membuahkan hasil.
Kakinya berhenti bergerak. Ia menghela napas panjang sambil berpikir tempat yang kemungkinan bisa didatangi Lia. Tiba-tiba matanya membulat dan saat itu ia berlari menyusuri koridor kelas hingga menemukan tangga yang mengantarkannya pada tempat yang jarang dikunjungi siswa.
Hingga tiba di anak tangga teratas, Thora membuka pintu sekuat tenaga hingga menghasilkan suara yang lumayan keras. Tatapan matanya kini bertemu dengan seseorang yang ia cari. Ia berlari menghampirinya, lalu ditatapnya gadis itu lekat-lekat.
"Gue selalu bilang, kalau lo butuh bantuan, lo bisa bilang sama gue," ujar Thora lembut nyaris seperti berbisik. Dipegangnya kedua bahu Lia dan ditarik hingga kepala mereka bersentuhan.
Lia mengigit bibir bawahnya. Rasa haru menyergap relung hatinya. Masih ada orang yang mencarinya. Masih peduli padanya yang bukan siapa-siapa.
Thora menangkup kedua pipi Lia yang tirus, hingga mata bertemu kembali. "Lo mau kan cerita sama gue?"
"Liaaa!"
Teriakan itu membuat keduanya menoleh. Reina berlarian disusul oleh Satrian dan Zain yang berada di belakangnya. Thora segera melepaskan kedua tangannya dan mundur beberapa langkah, memberi ruang bagi Reina untuk memeluk Lia.
"Untung lo ketemu," ucapnya di sela-sela pelukan. "Lo nggak apa-apa, kan?" tanya Reina dengan rasa khawatir yang kentara di wajahnya. Ia mengendorkan pelukannya dan memperhatikan Lia dari atas hingga ke bawah.
Senyum Lia mengembang, lalu menggeleng pelan. "Gue baik-baik aja, Rei."
"Bohong!" Reina tidak terima. "Ini mata sampai sembab. Pokoknya kita harus cari tahu siapa pelaku yang bikin lo difitnah kayak gini. Tega banget."
"Fitnah?" ulang Thora yang menguping percakapan kedua cewek itu. Satrian dan Zain yang kini berada di dekat mereka pun penasaran.
"Iya, jadi tadi tuh ...."
"Rei," ucap Lia sambil menggeleng pelan ke sahabatnya. Lia tidak mau membuat masalah menjadi besar.
"Nggak, Li. Biar mereka tahu." Satu per satu rentetan kejadian yang menimpa Lia diceritakan oleh Reina. Tidak ada satu pun bagian yang dia lewatkan hingga tiga sekawan itu pun mengerti situasi yang telah terjadi
***
Reina meminta Thora untuk mengantarkan Lia pulang ke rumah. Yang jelas ditolak oleh Lia mentah-mentah. Agak sedikit kesal dengan sikap keras kepala Lia, Reina juga bersikeras supaya Thora tetap mengantarnya. Rasa khawatir yang berlebihan membuar Reina sedikit lebih posesif. Bagaimana tidak, Lia sudah membuatnya ketakutan karena tiba-tiba saja bolos dari jam pelajaran.
"Pokoknya lo harus diantar sampai rumah," perintah Reina tegas. Sebenarnya Reina ingin sekali mengantar Lia, sayangnya ia harus mengurus majalah sekolah yang akan terbit minggu depan.
Lia menghela napas panjang. Ruangan kelas XI IPA 4 sudah kosong. Tidak ada lagi orang yang menatapnya sinis, penuh kecurigaan. Kepalanya masih saja memutar kejadian beberapa jam yang lalu. Diorama yang hancur itu pun masih berada di tempatnya. Tak hanya teman-temannya yang merasa sedih dan kecewa, Lia pun merasakan hal yang sama. Namun, kesalahpahaman membuat mereka melampiaskan kekesalan pada dirinya.
"Kak Reina," seru seseorang dari balik pintu. Reina dan Lia serentah menoleh pada sumber suara. Keysha melambaikan tangan kepada mereka berdua. Matanya menyipit ketika gadis itu tersenyum ramah.
Munculnya Keysha menjadi pengingat kalau kehadirannya sudah ditunggu di ruang redaksi sekarang. "Hai, Key. Sebentar, ya!" teriak Reina dari bangkunya. Gadis berambut sebahu itu menepuk pelan kedua bahu Lia. "Sekarang lo tenangin diri. Gue yakin 100 persen kalau pelakunya bukan lo."
Mendengar Reina mengatakan itu membuat perasaan takut Lia sedikit berkurang. Memang benar, dia hanya perlu waktu untuk mengungkapkan semua keganjilan ini. Namun, apakah yang lain akan menerima pembelaan Lia? Atau teman-temannya justru akan bersikap sama seperti teman-teman di masa lalunya. Membenci Lia dan meninggalkan gadis itu dalam kesendirian. Membayangkannya saja sudah membuat Lia sedih. Baru saja gadis itu merasa bahagia karena kehadirannya diterima oleh mereka tetapi hidup memang penuh kejutaan. Sayangnya, kejutan ini bukanlah kejutan yang Lia inginkan.
"Gue pergi dulu, ya." Reina memeluk Lia beberapa saat sebelum dirinya beranjak untuk menghampiri Keysha.
"Rei, Lia di kelas?" Thora berpapasan dengan Reina di koridor kelas XI. Saat itu Thora sadar kalau Reina tidak sendiri. Ia pun melempar senyuman pada Keysha.
Reina mengangguk sebagai jawaban dan meminta Thora untuk segera mengantarkan Lia. Cowok itu mengacungkan jempol segera masuk ke kelas dan mendapati Lia melemparkan pandangan ke luar jendela. Gadis itu terlihat sangat muram.
Thora duduk di bangku depan Lia. Tangannya terlipat di atas sandaran kursi, ia memperhatikan wajah Lia. Dari aroma Mint yang menguar di udara, Lia tahu kalau Thora ada di depannya. Ia menggeser kepalanya dan menatap Thora. Keduanya terdiam. Bunyi gemericik air dari kolam mengisi kekosongan itu.
"Apa yang sebenarnya lo takutin, Li?"
***
Nenek baru saja selesai melipat hasil jahitannya hari ini. Tidak banyak yang bisa ia selesaikan. Tiga potong baju sudah cukup membuat badannya merasa pegal. Apalagi beberapa hari ini, Nenek merasa tidak enak badan. Wanita tua itu masuk ke kamarnya, lalu duduk di pinggir ranjang.
Ia menarik laci kecil di samping tempat tidur dan meraih amplop putih yang berada di depannya. Nenek menarik napas dalam sebelum mengembuskannya perlahan. Selama ini, Nenek tahu, kalau Lia hidup dalam kebingungan tentang masa lalunya. Selintingan tentang Lia adalah anak haram dan pembawa sial sampai ke telinga Nenek.
Air mata meleleh di pipinya yang keriput. Lia itu pasti menderita. Sejak kecil harus hidup tanpa orang tua dan malah hidup dengan wanita tua sebatang kara seperti dirinya. Nenek semakin sedih, mengingat usianya yang sudah senja. Tidak selamanya ia bisa berada di samping gadis yang sudah ia anggap cucu sendiri.
Nenek mengamati amplop itu. Janjinya harus ia tepati. Amplop itu akan sampai ke tangan Lia sebentar lagi. Nenek terbatuk beberapa kali. Badannya semakin terasa lemah. Tangan kirinya memegangi dada yang sesak. Nenek kembali terbatuk, kali ini dengan bercak darah yang berada di tangannya. Tiba-tiba semua mulai menggelap dan samar-samar Nenek mendengar seseorang berteriak memanggilnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Aureliana
Teen FictionDAFTAR PENDEK THE WATTYS 2021 Kalau saja bisa, Aureliana akan memohon pada Tuhan untuk membatalkan kehadirannya sebagai manusia di dunia. Selama enam belas tahun, gadis yang dijuluki Cewek Kutub itu hidup dalam ketidaktahuan tentang siapa dirinya. S...