TITIK TERANG

71 10 0
                                    



Hari ini Lia memutuskan untuk tidak pergi ke sekolah. Bukan karena masalah diorama yang belum sempat ia selesaikan, melainkan kondisi Nenek yang belum pulih. Sekitar jam sebelas malam, Nenek kembali siuman dan itu membuat Lia bernafas lega karena Nenek masih bersamanya.

Reina yang semalam ikut menginap bersama Lia, berpamitan untuk pulang ke rumah dan bersiap ke sekolah. Sahabatnya itu akan menyampaikan alasan izin Lia kepada Rizal selaku ketua kelas.

"Kalau ada apa-apa, lo hubungin gue atau Thora ya," katanya sambil mengedipkan mata kemudian mencium punggung tangan Nenek dan berlalu pergi.

Mendengar nama Thora membuat perasaan Lia menghangat. Kemarin malam, Lia segera menghentikan aktingnya saat tidur. Ia juga tidak mau membuat pundak Thora berat sebelah karena kepalanya yang bersandar di sana. Belum lagi, cowok itu tidak sempat pulang ke rumah.

"Teman-teman kamu baik semua, ya. Nenek senang melihatnya," ucap Nenek pelan sembari mengusap kepala Lia lembut.

Lia tersenyum sembari menganggukan kepala. Ide Thora semalam terlintas di kepala Lia. Setelah kemarin berbincang dengan Thora, Lia sadar bahwa tidak hanya dirinya saja yang punya masa lalu buruk. Ternyata Thora pun punya. Begitupun juga dengan yang lain. Mereka mungkin punya sesuatu yang tidak menyenangkan di masa lalu.

Namun, ia menghempaskan ide itu. Situasinya masih kurang tepat. Lia tidak mau membebani dengan pertanyaannya.

"Lia, sebentar lagi usaia kamu 17 tahun dan Nenek sudah semakin tua."

Gadis itu hampir lupa, kalau dua minggu lagi adalah hari kelahirannya, 22 April. Lia tidak pernah menganggap hari kelahirannya sebagai sesuatu yang istimewa. Tak banyak yang Lia lakukan jika berulang tahun, tidak ada pesta perayaan, teman-teman yang memberi kejutan sembari membawa kado atau ruangan yang didekorasi dengan balon warna-warni.

Cukup dengan menyanyikan lagu ulang tahun, meniup lilin dan memakan kue yang biasanya Nenek buat sudah bisa membuat Lia bahagia. Namun, ia juga tidak bisa berbohong. Terkadang ia ingin seperti teman-temannya yang lain. Bisa merayakan ulang tahun bersama dengan orang tua yang dikasihi.

Lagi-lagi kenyataan segera menariknya dari angan-angan yang mungkin tidak akan pernah terjadi. Lia harus tahu siapa dirinya sebelum orang lain tertawa mendengar keinginan Lia.

"Harusnya Nenek memberikan itu tepat di hari ulang tahun kamu, tapi Nenek tidak mau membuat kamu hidup dalam kebimbangan lebih lama lagi."

Kening Lia berkerut saat mencerna perkataan Nenek.

"Maaf, Nak. Nenek sudah membuat hidup kamu sulit." Sorot mata wanita itu terlihat sendu. Cahayanya sarat akan kesedihan.

Lia menggelengkan kepala dengan cepat. "Nggak, Nek. Justru Nenek yang membuat hidup Lia punya arti. Seandainya bukan Nenek yang merawat dan membesarkan Lia, mungkin hidup Lia bakal nggak jelas," ucapnya tulus.

Nenek selalu terkagum dengan kebesaran hati gadis muda di hadapannya. Lia hampir tidak pernah berkeluh kesah kepadanya. Nenek tahu, semua beban di hidupnya ia simpan sendiri. Dan sekarang saatnya, saat Nenek masih punya kesempatan untuk mengakhiri kebimbangan Lia.

"Nak, ada satu amplop putih di atas nakas kamar Nenek. Surat itu dari Mama kandungmu."

***

"Will, tungguin gue!" Tika berlari mengimbangi langkah Will. Meski Tika sudah memanggilnya beberapa kali, Will tidak peduli. Cowok itu terus berjalan sampai ke ruang redaksi. Beberapa hari yang lalu, Reina menghubungi Will untuk menjadi salah-satu narasumber majalah sekolah. Itu dilakukan atas usulan dari guru pembina ekstrakulikuler majalah sekolah. Reina akan mewancarai Will seputar prestasi dan pengalamannya mengikuti lomba olimpiade matematika tingkat provinsi.

Langkahnya terhenti di depan pintu ruangan. Cowok itu tidak lantas masuk ke ruangan. Tika berhasil mengikis jarak Will dan dirinya. Ia berdiri di samping Will dengan napas terengah.

"Mau lo apa?" tanya Will ke inti pembicaraan. Cowok itu berbicara tanpa menoleh pada Tika yang memandanginya dengan sedih.

"Gue mau lo," jawabnya terus terang tanpa rasa malu.

"Gue udah bilang nggak bisa."

"Kenapa? Gara-gara cewek nyeremin itu? Apa sih yang lo cari dari dia?" Tika mencecar Will dengan pertanyaan. Ia tidak bisa terima, kalau dirinya kalah dari Lia yang tidak ada apa-apanya. Tika memiliki segalanya yang diinginkan cewek-cewek seusianya. Parasnya cantik, tinggi badannya bak seorang model, hidupnya juga berkecukupan. Tika juga sering dipuja-puja oleh kaum adam di sekolahnya. Namun, Will tidak juga melihatnya.

"Jangan pernah bilang dia nyeremin."

"Jadi lo ngebelain dia? Si cewek munafik yang pura-pura lemah biar dikasihani sama lo dan Thora. Jangan sampai deh lo ketipu sama dia Will."

Will merasa muak mendengar tuduhan-tuduhan Tika. Gadis itu sudah buta oleh emosinya sendiri.

"Kalau dia cewek baik-baik. Nggak mungkin dia sampai cari perhatian dua cowok populer di sekolah. Terus ngerebut posisi gue jadi perwakilan Putri Kartini dan lebih parahnya, dia malah ngerusak karya teman-teman sekelas. Coba deh lo pikir. Apa orang kayak gitu pantas dibilang baik?"

Will mengepalkan kedua tangannya dan berbalik menatap ke arah Tika. Meski sudah tersulut amarah, cowok itu berusaha untuk tetap tenang. Ia tidak mau kalau keributan kali ini akan membawa nama Lia. Cewek itu sudah banyak menanggung masalah.

"Tahu dari mana lo?"

"Lo minta bukti?" tanya Tika menantang. "Oke. Gue buktiin sama lo." Tika meraih ponselnya, jemarinya langsung bergerak di atas layar. Ia membuka apliksi Whatsapp dan menunjukkan chatnya.

Will meraih ponsel itu. Matanya langsung menyediki pesan-pesan dari pengirim yang tidak dikenal. Banyak foto-foto saat Lia berdua dengan Thora, termasuk Lia dan Will. Foto-foto yang beberapa waktu lalu membuat gempar satu sekolah. Lalu pada pesan terakhir, matanya terbuka lebar.

"Lihat, kan! Dia itu cewek ganjen. Sukanya ngegodain cowok aja dan gue nggak mau lo jatuh ke cewek yang salah."

Will mengembalikan ponsel itu ke Tika. Sebuah informasi penting berhasil Will dapatkan dan cowok itu berharap dengan itu nama Lia akan kembali baik. "Gue berterima kasih karena lo sudah peduli sama gue. Tapi, kemana hati gue berlabuh, biar gue yang memutuskannya sendiri. Gue harap, lo juga menemukan seseorang yang lebih baik dari gue."

Will segera membuka pintu ruangan dan meninggalkan Tika yang bergeming di tempatnya. Saat itu ia tahu, kalau Will tidak pernah bisa ia gapai.

***

Reina mempersilakan Will duduk di sofa. Ruang redaksi sore itu tampak kosong. Hanya ada Reina di sana, tetapi beberapa tas yang tergelatak di lantai menunjukkan ada orang yang bersamanya.

"Sebelum lo mulai wawancara ini, ada sesuatu yang pengin gue bicarakan sama lo."

Raut wajah Will mengisyaratkan kalau pembicaraan itu benar-benar serius. Tiba-tiba saja, Reina merasa agak sedikit gugup. Pikiran gadis itu sibuk menduga-duga apa yang akan dikatakan Will.

"Tentang apa?" Reina duduk di bangku yang berhadapan dengan Will. Punggungnya bersandar pada kursi dengan kedua tangannya bersidekap. Reina berusaha terlihat sesantai mungkin.

"Tentang teman lo," ujar Will tenang.

Reina memiringkan kepalanya, menunggu Will melanjutkan perkataannya.

"Tentang Lia."

***

AurelianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang