TIDAKLAH JAUH

78 12 0
                                    


Kondisi kesehatan Nenek semakin membaik, hingga sudah diperbolehkan pulang. Nenek pun meminta untuk kembali ke sekolah karena sudah dua hari dia izin. Permintaan Nenek disambut baik oleh Lia. Ada sesuatu yang beda dalam dirinya setelah menemukan fakta baru mengenai orang tuanya.

"Lia ...." Reina berseru sembari berlari menuju Lia yang sudah berada di bangkunya. Kedua tangannya terbuka lebar, memeluk Lia. "Gue kangen sama lo," kata Reina tulus. Lia membalas pelukannya dengan erat.

"Baru juga nggak ketemu sehari," timpal Lia sembari terkekeh geli.

"Wah, cewek ganjen datang juga ke sekolah. Lupa lo sama diorama rusak itu? Masih punya nyali ternyata."

Euforia kebahagian yang sempat dirasakan kedua sahabat itu musnah ketika Tika sengaja menyambangi meja mereka. Tatapanya penuh intimidasi.

"Apaan sih maksud lo?" Reina berang, ia bangkit dari duduknya. Tinggi Reina yang sama seperti Tika membuat pandangan mereka sejajar. Keduanya saling bertatapan seperti ada listrik yang keluar dari mata mereka.

"Gue bukan ngomong sama lo, ya. Jadi nggak usah ikut campur," balas Tika sengit.

Reina baru saja akan membalas Tika, tetapi tertahan karena Lia menarik lengan temannya itu. "Udah Rei, nggak usah diladenin."

"Oh. Berani lo sekarang sama gue? Dasar cewek cupu."

Lia berusaha bersikap tenang, membalas Tika juga perbuatan sia-sia. Ia menarik napas, mengembuskan nya perlahan dan menatap Tika tanpa rasa gentar. Rasa percaya dirinya bertambah setelah membaca surat itu. Ia tidak takut lagi akan di cap anak haram dan pembawa sial karena itu tidak benar.

"Gue memang cupu, tapi gue tahu diri untuk bisa bersikap baik terhadap sesama manusia. Dan gue nggak pernah asal menuduh orang untuk perbuatan yang belum tentu dia lakukan."

Mulut Reina sedikit terbuka ketika Lia membalas perkataan Tika. Namun, sedetik kemudian seulas senyum muncul perlahan di wajahnya. Tak hanya Reina, seisi kelas yang lain pun ikut terkesima. Lia seolah-olah menjadi pribadi yang baru.

Tika tampak tidak senang melihat reaksi Lia yang diluar dugaannya. Gadis itu memilih untuk kembali ke tempatnya sambil menghentakkan kaki.

"Please. Ini beneran lo? Aureliana Edisa si Cewek Kutub itu?" Reina menggenggam bahu kedua bahu sahabatnya. Lia tergelak. Ia tahu Reina pasti bingung dengan perubahan sikapnya. Lia mengangguk.

"Ya ampun gue senanng banget," seru Reina sembari memeluk Lia erat.

Lia tersenyum sekilas, lalu mengalihkan pandangannya pada diorama yang masih berada di meja belakang kelas. Belum ada tanda-tanda kalau benda itu diperbaiki. Kondisinya tetap sama seperti ketika Lia meninggalkannya. Padahal stand akan dibuka lima hari lagi yang bertepatan dengan Hari Kartini.

Reina juga melihat ke arah yang sama seperti Lia. "Li, gue tahu lo nggak salah."

Lia mengigit bibirnya, memang bukan dia yang melakukan itu, tetapi memikirkan siapa pelakunya agar dirinya terbukti tidak bersalah itu hal sulit.

"Dan gue punya bukti kalau lo nggak bersalah," lanjut Reina yang berhasil membuat gadis itu menatapnya penuh tanya. Reina tersenyum lebar.

"Pokoknya lo tenang aja. Gue udah ngomong sama Rizal dan Pak Emon. Dan ingat, lo tetap jadi perwakilan untuk Putri Kartini dari kelas kita."

"Kok lo bisa tahu?" Lia tampak tidak paham bagaimana Reina bisa memecahkan permasalahan itu. Dua hari tidak ke sekolah, Lia justru mendapatkan kabar-kabar di luar perkiraannya.

"Semua karena bantuan Will."

***

Sepulang sekolah Lia mengirim pesan pada Thora untuk bertemu dengannya di taman belakang. Kalau saja waktu itu Thora tidak mendorongnya untuk lebih berani menghadapi masa lalu, mungkin hingga hari ini, ia masih dalam kondisi terpuruk. Karena itu pula, ia sudah berniat untuk memberitahu Thora tentang informasi terbaru dan berbagi cerita tentang rencananya untuk mencari tahu siapa orang tuanya.

"Senang bisa lihat lo lagi di sekolah. Sori, gue nggak sempat nengokin Nenek kemarin." Cowok itu langsung duduk di kursi bersebelahan dengan Lia. Wajahnya terlihat seperti kurang tidur. Kantung matanya tampak hitam. Mungkin saja Thora sedang banyak urusan pikir Lia.

"Nggak apa-apa. Nenek juga sudah sehat, kok. Beliau juga titip salam buat lo," jawab Lia. Sebenarnya Lia ingin bertanya tentang keadaan Thora, tetapi gadis itu mengurungkan niatnya dan menunggu Thora duluan cerita padanya. Gadis itu kemudian mengeluarkan sesuatu dari tasnya.

"Lo ingat, kan, percakapan kita malam itu. Saran lo yang bilang supaya gue membuktikan apa perkataan orang lain tentang gue itu benar atau salah. Dan lo tahu, gue udah punya jawabannya." Lia bercerita dengan senyum lebar. Senyuman itu otomatis membuat Thora juga ikut tersenyum. Thora sangat suka melihat Lia bersemangat seperti ini.

"Ini surat dari nyokap gue. Lo mau baca?" kata Lia menawarkannya pada Thora. Tanpa pikir panjang, Thora meraih benda yang diberika kepadanya. Kemudian ia lanjut membaca surat itu dari awal sampai akhir.

"Gue senang karena lo akhirnya menemukan kebenaran dari surat ini," komentar Thora setelah selesai membaca dan mengembalikannya pada Lia.

Gadis itu mengangguk beberapa kali, lengkap dengan senyuma yang terpatri di wajahnya. "Tapi gue masih pengin cari tahu siapa orang tua gue, Thor," jawab Lia lirih. "Gue juga punya udah punya rencana untuk itu. Lo mau kan bantuin gue?" tanya Lia.

"Dengan senang hati," jawab Thora. "Apa rencana lo?"

Lia menceritakan rencananya yang akan mengunjungi panti asuhan. Berharap pengurus panti akan memberitahunya tentang siapa mama kandungnya. Juga beberapa pertanyaan yang akan ia ajukan ke Nenek sebelum itu. Thora mendengarkan dengan seksama dan memahami seperti apa skema yang dibuat Lia.

"Kira-kira kayak git. Gimana menurut lo?" Lia menutup penjelasannya dengan menanyakan pendapat Thora.

"Udah bagus sih. Terus kapan lo mau mulai cari tahu?"

Lia mengigit bibirnya, karena hal pertama yang harus ia lakukan adalah bertanya pada Nenek tentang alamat panti asuhan. Namun, Lia harus benar-benar meyakinkan bahwa Nenek sudah pulih total. "Mungkin dua hari lagi atau seminggu kemudian," kata Lia ragu. "Gue masih mau nunggu Nenek sehat, buat tanya panti asuhan itu.

Thora mengangguk paham. "Oh iya, tadi gue baca kalau mama lo kasih foto. Boleh gue lihat?" tanya Thora meminta persetujuan.

Lia mengangguk antusias. Foto itu memang senagaja ia bawa untuk ditunjukkan kepada Thora. Namun, ia keburu lupa karena terlalu asyik menjelaskan rencananya kepada Thora. Setelah mengambilnya dalam ransel, Lia menyerahkan foto pertama. Mama dan papa Lia yang terlihat serasi. Seorang wanita muda yang cantik, juga pria muda yang tampan.

Dahi Thora berkerut ketika melihat foto itu. Meski foto lama itu terlihat usang, entah mengapa, figur keduanya seperti tidak asing bagi Thora.

"Kenapa, Thor?" Lia merasakan perubahan ekspresi dari wajah Thora.

"Eh, nggak. Cantik dan tampan ya. Pantes aja anaknya cantik kayak gini," kata Thora sambil melemparkan sebuah senyuman.

Pipi Lia terasa panas. Tidak menyangka kalau Thora akan memujinya terang-terangan seperti itu. Tidak mau membuat suasana menjadi canggung, Lia menyerahkan foto kedua. Foto setelah mamanya melakukan persalinan.

Thora menatap foto itu beberapa saat. Mendadak ada debaran aneh di hatinya. Sesuatu yang mungkin tidak Thora ketahui dari orang yang ia sayangi dan ternyata melibatkan Lia.

"Li, lo bisa jalanin rencana itu hari ini juga."

Lia memandang Thora heran. Keanehan tampak jelas di wajah cowok itu. "Maksud lo?"

"Gue kenal wanita ini, Li."

***

AurelianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang