CONFESSION

114 20 2
                                        


Sorot matamu menjelaskan setiap rangkaian kata yang tak terucapkan.

"Hati-hati jalannya!" Thora menuntun langkah kaki Lia. Cewek itu berjalan lebih lambat dari biasanya. Bengkak di kakinya sudah lumayan mengecil, hanya sesekali terasa sakit.

"Taman?" Lia bertanya setelah mereka berhenti di sebuah taman bermain anak-anak yang tidak jauh dari rumah Lia. Gadis itu mengernyitkan dahi, menatap heran ke Thora.

Thora mengangguk dengan senyum lebar tercetak di wajahnya. Lalu mereka duduk bersampingan di bangku, menghadap area bermain anak-anak yang saat itu kosong tidak dikunjungi siapapun.

Lia melemparkan pandangannya ke depan. Melihat ayunan, serta wahana lain di taman bermain anak-anak ini, mengingatkan Lia kembali pada kenangan masa kecilnya. Gadis itu tersenyum getir, batu-batu yang bersemayam di hatinya sulit sekali hancur. Masih berada di sana dan membuat hatinya sesak kala kenangan itu mampir kembali di benaknya.

Dua ayunan berada tepat di seberang mereka mengingatkannya akan kenangan masa kecil. Dulu Lia kecil sering bermain ayunan sendirian karena tidak ada satu pun yang mau bermain dengannya. Dari situ ia hanya bisa melihat yang lain bercengkrama. Padahal Lia berharap ada yang mau bermain ayunan bersamanya.

Thora memperhatikan Lia yang sedang melamun. Cowok itu mengikuti arah pandangan Lia. "Lo, mau main ayunan?" ujar Thora menawarkan. "Biar gue yang dorong." lanjutnya sambil tersenyum lebar

Lia menoleh tak percaya seolah Thora bisa membaca pikirannya. Gadis itu balas tersenyum dan menjawab, "Boleh."

Derit bunyi besi pada ayunan menemani kedua insan yang belum membuka obrolan kembali selama lima menit yang lalu. Lia begitu menikmati angin yang menerpa wajah ketika tubuhnya melayang ke udara. Sementara Thora sibuk mendorong Lia, menjaga ayunan itu tetap pada ketinggian yang seharusnya.

Senyum Lia merekah. Untuk pertama kalinya ada orang yang mau bermain bersamanya. Rasa itu meluap begitu saja di hati Lia dan ia tidak pernah menyangka bahwa Thora adalah orang yang mengabulkan keinginan masa kecil Lia.

"Li, kok gue cuma lihat foto lo sama Nenek aja?" Pertanyaan itu akhirnya telontar dari mulut Thora. Potret Lia dan Nenek mendominasi dinding ruang tamu rumah mereka.

Senyum yang sempat hadir di wajahnya kini menghilang. Kata-kata seolah tertahan di mulutnya. Ada keraguan yang sangat kuat ia rasakan. Haruskah ia bercerita pada cowok itu? Atau bertahan dengan keyakinan sendiri lebih baik. Thora, cowok asing yang kini sedang bersamanya, seperti mulai menelusuri keseharian Lia.

"Dari kecil gue cuma punya Nenek."

Ayunan itu melambat dan Thora tidak lagi mendorongnya. Cowok itu justru berjalan mendekati Lia, lalu menahan agar ayunan itu berhenti. Gadis itu mengembuskan napas pelan. Thora masih ingin bertanya lagi pada Lia, tetapi ia mengurungkan niatnya. Bisa saja Thora telah melanggar batas privasi.

Cowok itu beranjak dari pijakannya, lalu kemudian duduk di ayunan sebelah Lia. "Sori, kalau gue nyinggung perasaan lo." Thora merasa bersalah ketika melihat raut wajah Lia yang berubah drastis.

Lia menggelengkan kepala pelan, menoleh ke Thora dan tersenyum. "Lo nggak harus minta maaf. Karena kenyataannya memang begitu. Satu-satunya orang yang gue miliki cuma Nenek."

Pernyataan Lia membuat hati Thora merasakan kesedihan yang terselip di situ. Thora masih ingat binar mata Lia ketika ia tertawa waktu mereka terjebak di sebuah ruangan. Binar mata itu begitu mengagumkan, begitu gemilang dan menularkan kebahagian kepadanya. Namun, yang ia lihat sekarang hanya sorot mata sendu yang mengartikan kehampaan.

"Lo pasti bahagia banget ya punya orang tua dan saudara yang sayang sama lo." Lia mengigit bibirnya setelah itu. Mempunyai keluarga merupakan impiannya yang hanya jadi angan-angan.

AurelianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang