Biar saja kehadirannya seperti udara.
Seolah tidak ada tetapi ada.Pergi ke sekolah dengan perasaan campur aduk membuat Lia seperti tidak bernyawa. Raganya terlihat baik-baik saja tetapi jiwanya sibuk bergelut dengan macam-macam emosi. Sikap Reina juga masih sama seperti kemarin. Hanya pada Lia saja, Reina tidak mau bicara.
Terkadang satu sisi dari diri Lia menertawakan keputusan gadis itu di masa lalu. Seharusnya dulu, Lia tidak membuka hati untuk siapa pun menjadi temannya. Karena pada akhirnya, Lia adalah pihak yang ditinggalkan dan lebih pantas berkawan dengan kesendirian. Tak hanya itu, pernyataan Tika tentang foto Lia, Thora dan Will kemarin sangat membuat dirinya terpuruk.
Lia yang bukan siapa-siapa di sekolah menjadi bahan pembicaraan empuk karena kedapatan sedang bersama dua cowok populer. Penampilannya tentu jadi sasaran empuk sebagai bahan perundungan. Padahal Lia sudah sebisa mungkin menjaga jarak dengan siapa pun, tetapi hari itu datang juga. Saat persembunyiannya mulai diketahui orang-orang.
Selama istirahat, Lia menenggelamkan pikirannya pada buku-buku di perpustakan. Meski sulit memahami bacaan itu, ia tetap berusaha agar beban pikirannya berkurang sejenak. Tak lama bel berbunyi. Tanda bahwa jam istirahat pertama telah selesai. Hanya butuh dua menit, Lia sudah berada di dalam kelas.
Reina sibuk menggulir ponselnya. Kehadiran Lia dianggap seperti angin lalu. Keduanya terjebak dalam keheningan. Tak lama kemudian Pak Emon mengetuk pintu kelas, tepat setelah semua murid berkumpul. Tangan kanannya membawa buku paket matematika untuk kelas X, sembari masuk ke kelas, Pak Emon juga menyapa murid-muridnya.
"Kalian sudah mengerjakan tugas matematika, kan?" tanya Pak Emon yang sudah duduk di kursi.
"SUDAH, PAK."
Pak Emon mengangguk senang. "Kalau begitu, coba tuliskan jawabannya di whiteboard."
Seketika raut wajah beberapa siswa menegang, mungkin di antara mereka ada yang pura-pura sudah mengerjakan. Pak Emon membuka daftar nama siswa, telunjuknya bergerak naik turun di atas kertas.
"Nomor satu," seru Pak Emon memberi jeda membuat hampir semua kepala tertunduk, berharap untuk tidak dipilih apalagi mereka yang tidak mengerjakan PR.
"Ilham," ucap Pak Emon sambil memandang Ilham. Beberapa siswa menghela napas lega karena lolos dari tunjukkan maut Pak Emon. Wali kelas mereka bisa berubah menjadi galak saat tahu muridnya tidak mengerjakan PR. Biasanya beliau akan memberikan soal baru dan siswa itu harus mengerjakannya di depan kelas. Jika tidak bisa, beliau akan memberikan soal tambahan untuk dikerjakan di rumah.
"Nomor dua, Reina," lanjut Pak Emon. Reina hendak berdiri dari duduknya, tetapi dia terusik melihat Lia yang sedari tadi sibuk mencari sesuatu di dalam tasnya.
"Reina, ayo ke depan!" seru Pak Emon karena Reina masih berada di tempatnya. Segera gadis itu menuruti perintah wali kelasnya.
Lia mengigit bibir bawahnya, menghela napas dan dengan tenang memeriksa kembali isi tasnya. Ilham telah selesai menulis jawabannya, kemudian Pak Emon memeriksa hasil pekerjaan Ilham.
"Bagus. Nomor satu sudah benar. Silakan duduk kembali, Ilham," perintah Pak Emon.
"Nomor tiga dikerjakan Rizal, lalu nomor empat oleh Lia," perintah pak Emon setelah melihat daftar nama siswa.
Wajah Lia mulai terlihat semakin panik, kini seluruh bukunya sudah berada di atas meja. Sementara Rizal sudah mulai menulis di depan kelas.
"Lia," panggil Pak Emon, menatap Lia yang masih duduk di bangkunya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Aureliana
Teen FictionDAFTAR PENDEK THE WATTYS 2021 Kalau saja bisa, Aureliana akan memohon pada Tuhan untuk membatalkan kehadirannya sebagai manusia di dunia. Selama enam belas tahun, gadis yang dijuluki Cewek Kutub itu hidup dalam ketidaktahuan tentang siapa dirinya. S...