SEBUAH DUGAAN

95 21 0
                                    



Lebih baik menyimpan dugaan itu dalam diam.

Dari pada dikatakan tetapi malah menyakiti orang lain.

"Mbak, mau pesan dua botol air mineral. Roti rasa keju satu, sama roti rasa cokelatnya satu, ya," ucap Reina memesan makanan untuk dirinya dan Lia di kedai Mbak Ranti. Setelah membayar, Reina berjalan hendak menuju kelasnya.

"Eh ... Neng Reina."

Mata Reina membulat sempurna mendapati Satrian sudah berada di hadapannya dengan senyum lebar, membuat mata sipitnya makin sipit.

"Minggir lo," ketus Reina, berusaha menghindar dari Satrian. Kini kedua tangan Satrian terbuka lebar, badannya bergerak ke kiri ke kanan. Mirip gerakan orang yang sedang melakukan pemanasan saat senam.

"Minta nomor hapenya dong!" pinta Satrian dengan nada manja.

"Isssh." Reina mulai kesal.

"Sat, lo ngapain malah senam di kantin. Cari meja woi," seru Zain yang baru datang dari arah belakang Satrian.

"Urusin nih teman lo. Ganggu banget," ucapan sinis Reina membuat Zain menoleh ke arahnya.

"Oh ada galak cewek!" ujar Zain yang dibalas dengan tatapan sinis oleh Reina.

Satrian menurunkan kedua tangannya, menatap Zain dengan sorot mata tajam. "Lo bukannya bantuin, malah ngata-ngatain pujaan hati gue."

Melihat Satrian yang lengah, Reina berjalan dengan langkah cepat ke sisi kiri Satrian. Langkahnya dibuat lebar-lebar, agar tidak terkejar oleh Satrian.

"Eh kabur dia," seru Zain.

"Aish. Lo sih ganggu, jadi gagal dah. Padahal dia udah mau ngobrol sama gue barusan."

Mulut Zain menganga lebar. "Selain mata lo sipit, kayaknya kuping lo juga sipit. Mana ada Reina mau ngobrol ama lo."

***

Reina berjalan dengan langkah kaki lebar-lebar. Wajahnya menunjukkan rasa kesal yang ditahan. Saat masuk ke kelas, Reina mencari tempatnya berkeluh kesah.

"Lia," panggil Reina yang sudah duduk disamping Lia, tapi Lia tidak menoleh. Kupingnya disumpal earphone, asik menikmati alunan musik Pop pada jam istirahat.

"Lia," seru Reina sekali lagi. Kali ini sambil mengguncang bahu Lia. Terusik oleh perbuatan sahabatnya, Lia menoleh dengan tatapan jengah.

"Kenapa?" tanya Lia sembari melepas earphone yang mengganjal kedua kupingnya.

"Si cowok gila itu," Reina terlihat makin kesal, "barusan gue nggak sengaja papasan sama dia di kantin. Dia gombalin gue dan suaranya ... ya ampun, suara toa aja kalah. Lo bayangin aja, semua orang yang dikantin langsung liatin gue," keluh Reina panjang lebar.

"Gue malu." Reina menutup wajah dengan kedua tangannya. "Dan dengan PD-nya, dia minta no HP gue. Sumpah ya, itu orang mau nya apa sih," lanjut Reina lagi.

"Orang gila siapa?" Lia sedari tadi belum tahu siapa yang Reina maksud.

"Ituloh, temannya si Thora. Yang matanya sipit."

"Oh," mulut Lia membulat. Sedetik kemudian dia terkekeh geli. "Penggemar berat lo itu ternyata."

"Ih, amit-amit. Siapa lagi yang mau punya penggemar kayak dia." Reina mendengus kesal, kedua tangannya dia lipat di depan dada. Lia tersenyum melihat sahabatnya cemberut.

"Udah ah malas gue bahas dia." Reina duduk tegak di kursinya sambil tangannya mengipas wajahnya.

Reina menyodorkan pesanan Lia. "Kaki sama tangan lo masih sakit?"

AurelianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang