KEBERANIAN

77 13 0
                                    


Air mata sudah berhenti mengalir di pipinya. Lia sudah mulai agak tenang dibandingkan dengan dirinya beberapa jam yang lalu. Tatapannya kosong. Hari ini benar-benar sangat menguras emosinya.

"Minum dulu!" Thora menyodorkan sebotol air mineral ke Lia yang sedang duduk di ruang tunggu. Thora harus menunggu beberapa saat, sampai Lia meraih benda itu. Cowok itu tidak banyak bicara. Justru ia memberikan waktu bagi Lia untuk menenangkan diri. Pastilah hari ini begitu penuh kejutan baginya.

Sesuai permintaan Reina, Thora mengantarkan Lia sampai ke rumah. Cowok itu pun beralasan ingin menemui Nenek untuk berbincang sebentar saja. Setelah mempertimbangkan keinginan Thora, Lia mempersilakan Thora untuk menunggu saat dia akan memanggil Nenek. Namun, tak berapa lama kemudian, Thora justru mendengar Lia berteriak memanggil Nenek. Cowok itu segera berlari dan menemukan Lia yang menangis histeris sembari memeluk Nenek yang pingsan.

Tanpa membuang waktu, keduanya pun membawa Nenek ke rumah sakit terdekat. Sesampainya di rumah sakit, Nenek langsung dilarikan ke ruang UGD. Di sinilah Thora dan Lia menghabiskan harinya. Menunggu hasil pemeriksaan Nenek.

"Gue takut, kalau Nenek bakal pergi ninggalin gue," ucap Lia lirih. Air kembali membayang di matanya. Kekhawatiran membuat pikirannya jadi tak karuan. Dalam hidupnya ia hanya punya Nenek.

Thora mengusap lembut puncak kepala Lia. "Sekarang kita berdoa aja. Semoga Nenek kuat di sana," kata Thora mencoba menenangkan Lia.

"Gimana kalau Tuhan nggak mengabulkan apa yang gue minta? Gimana kalau akhirnya gue ditakdirkan buat hidup sebatang kara di dunia ini?"

Lia tidak berteriak, tetapi Thora bisa merasakan amarah dalam setiap kalimatnya. Wajah gadis itu pun tidak lagi terlihat sedih. Sejujurnya, Thora bingung mau berbicara apa. Emosi Lia pasti sedang tidak stabil dan Thora tahu berbicara dengan seseorang yang sedang dalam kondisi tidak karuan itu serba salah.

"Selama gue hidup, gue nggak tahu siapa orang tua gue. Dan selama itu pula, gue nggak tahu mereka masih hidup atau nggak." Lia menarik napas panjang, lalau mengembuskannya perlahan. Ia sudah tidak peduli, kalau pun akhirnya Thora akan menjauhinya kelak. Beban itu sudah terlalu lama mengendap dalam dirinya dan kali ini, ia ingin melepasnya.

"Dan yang paling menyedihkan, gue justru dianggap aib sama orang-orang. Bahkan sejak gue kecil. Dari dulu gue dibilang anak haram karena gue lahir tanpa tahu siapa orang tua gue." Lia tersenyum senin mengingat kembali masa lalunya yang terasa pahit. "Gue juga dijauhi karena dibilang pembawa sial. Semua nasib buruk yang mereka alami, pastilah gue penyebabnya."

"Penyebab Nenek sakit pasti gue. Iya, kan?" Lia menoleh ke Thora. Menatapnya dalam, menuntut jawaban. "Gue si pembawa sial yang nggak tahu diri ini."

Thora tak percaya kalau Lia begitu menyalahkan dirinya. Kedua mata gadis itu menyiratkan luka.

"Lo pasti nggak mau berteman sama anak haram dan pembawa sial kayak gue, kan? Harusnya lo dengar apa yang gue bilang. Pergi jauh dari gue!"

Thora meraih gadis itu ke dalam pelukannya. Kata-kata tidak akan mampu meredam lukanya. Namun, Thora berharap sebuah pelukan bisa memberikannya rasa tenang. Lia tidak memberontak. Gadis itu malah kembali menangis. Cukup lama dalam keadaan seperti itu.

"Waktu gue kecil, gue juga disebut anak pelakor." Thora kembali membuka percakapan sembari menepuk-nepuk pundak Lia pelan. Thora tahu, Lia pasti mendengarkannya.

"Bokap gue udah lama meninggal. Waktu umur gue tiga tahun dan gue masih terlalu kecil untuk ingat kenangan sama bokap gue."

Lia melepaskan pelukannya. Gadis itu mengusap air mata di pipinya. Ia menatap Thora yang juga sedang melihat ke arahnya.

AurelianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang