DIORAMA

91 19 2
                                    



Bola-bola basket berserakan di lapangan. Siswa kelas XI IPA 4 baru saja menyelesaikan jam pelajaran olahraga di siang hari yang lumayan terik. Beberapa siswa duduk berteduh di pinggir lapangan sembari menyeka keringat yang muncul di kening dan leher. Sementara Reina dan Lia beranjak dari sana menuju loker untuk berganti pakaian.

"Li, lo ngerasa nggak kalau dari pagi sampai tadi Tika ngeliatin lo terus?"

Sudah tiga hari berlalu dan artinya masa skors Tika sudah berakhir. Pagi tadi, ketika Lia baru masuk kelas, Tika sudah melemparkan tatapan penuh amarah kepadanya. Tika pasti sudah sangat membencinya. Riri pasti sudah memberitahu Tika kalau Lia dipilih sebagai penggantinya di perlombaan nanti.

Tidak pernah terpikir dalam benak Lia untuk mengikuti ajang itu. Dikenal banyak orang, bukanlah impiannya. Pengalamannya di masa lalu telah memberikan bukti nyata bahwa hidup dengan dikenal banyak orang itu tidak menyenangkan. Apalagi dengan cerita hidup masa lalu yang kelam. Jadi ia tidak mau dibutakan oleh pujian-pujian yang membawanya terbang ke langit. Namun, tak lama kemudian segala fitnah dan makian menjatuhkannya ke tanah.

Tanpa sepengetahuan teman sekelasnya, Lia sempat berbicara dengan Pak Emon. Waktu itu Lia menyampaikan keinginannya untuk menolak permintaan teman-teman yang memilihnya. Sayangnya, keinginan Lia ditolak oleh Pak Emon dengan alasan bahwa Lia perlu mencoba sesuatu yang baru. Wali kelasnya berpendapat, kalau hal itu bagus bagi kehidupan sosial Lia yang dimulai dengan rasa kepercayaan dari teman-temannya.

Lia kalah telak. Keputusan itu sudah bulat. Kali ini, ia benar-benar harus terlibat dalam perlombaan itu. Kini, muncul masalah baru yang sudah bisa diprediksi oleh Lia. Amarah Tika.

"Gue ngerasa, kok," jawab Lia pelan.

"Pokoknya kalau dia macam-macam, lo harus bilang sama gue."

Langkah mereka berhenti tepat di depan loker yang letaknya bersampingan. Keduanya membuka loker masing-masing.

Lia mengerjapkan mata memastikan penglihatannya. "Baju gue kok nggak ada?" Gadis itu kebingungan. Ia yakin sekali telah meletakkan seragamnya di sana.

Reina yang mendengar itu melongokkan kepalanya. Dahinya berkerut samar. "Yakin udah lo masukin ke loker?" tanya Reina balik yang dijawab dengan anggukan kepala. "Coba cek di kelas, kali aja ketinggalan," kata Reina memberi solusi. Menyetujui usulan Reina, Lia segera berlari menuju kelas.

Ruangan kelas itu masih kosong. Namun, ketika Lia hendak memasuki kelas, sesuatu yang terletak di meja belakang kelas menyita perhatiannya. Agak sedikit ragu, Lia melangkah perlahan mendekati. Hatinya tiba-tiba berdetak dengan cepat. Firasatnya merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi.

Matanya kini membulat sempurna, ketika melihat benda yang berada di hadapannya. Badannya terasa dingin seperti sudah disiram air es. Apa yang sudah terjadi sebenarnya? Tangan Lia menyentuh benda itu.

"Waw! Coba lihat deh apa yang dilakukan ratu baru di kelas kita?"

Suara itu membuat Lia terkesiap dan ketika ia membalikkan badannya Tika sudah berdiri tidak jauh dari dirinya. Lia hanya bisa bergeming dipijakannya dengan tangan yang masih mengenggam figur Kartini yang terbelah dua.

Situasi ini terasa tidak asing bagi gadis itu. Mulutnya seperti terkunci. Satu per satu teman sekelas mereka masuk dan itu membuat Tika tersenyum lebar. Lia menggelengkan kepalanya, memohon supaya Tika tidak mengatakan sesuatu sebelum Lia menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya.

"Guys, lihat deh Putri Kartini pilihan kalian!" Tika berkata dengan lantang sehingga menarik atensi dari penghuni kelas. Tika berjalan menuju Lia yang mulai terlihat ketakutan dan Tika semakin senang melihatnya.

AurelianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang