Bukankah hidup itu tentang berpindah dari satu kesulitan ke kesulitan yang lain?"Yuk, pergi. Jangan mau temanan sama dia," ujar salah seorang dari gerombolan itu. Mereka menjauh dari area ayunan di taman, lalu berpindah ke area pasir. Gerombolan anak-anak itu sangat akrab satu sama lain. Semua berbahagia kecuali seorang gadis kecil yang rambutnya dikuncir.
"Aku mau ikut main ya," ucap Lia kecil mengikuti mereka dan berusaha untuk bisa bergabung. Tidak ada yang menjawab, semua asyik dengan kegiatan masing-masing. Namun, Lia tetap bertahan di sana. Ia hendak meraih sendok pasir yang tidak terpakai, tetapi Lia belum sempat melakukannya ketika seorang anak perempuan –yang usianya lebih tua dua tahun dari Lia– mendorongnya hingga terjatuh.
"Kamu nggak boleh ikut. Pergi sana! Kata mama kamu itu bawa sial."
Lia tidak sepenuhnya mengerti dengan perkataan itu, tetapi yang bisa ia rasakan adalah sebuah penolakan bahwa ia tidak bisa diterima di sana. Air mata mulai meleleh dari matanya, bukan karena lengan dan kakinya yang lecet tetapi rasa yang sepenuhnya belum bisa ia mengerti membuatnya sakit.
"Dia aja nggak punya Mama sama Papa. Pasti Mama, Papanya nggak sayang sama dia gara-gara dia pembawa sial," lanjut anak itu lagi dan dibalas dengan anggukan kepala oleh yang lain.
Mama dan Papa terasa asing bagi Lia, selama ini yang selalu ia sebut dalam keluarga hanyalah Nenek. Lia melihat tatapan menghakimi yang ditujukan kepadanya.
"Sana pergi!" Anak berbaju merah itu mengibaskan tangannya mengusir Lia, lalu diikuti oleh suara anak-anak lainnya.
Lia bangkit dari sana, lalu berjalan menjauh dan memilih duduk di bangku pinggir taman bermain. Dari situ, ia menyaksikan bahwa mereka bisa tertawa dengan riang satu sama lain. Salah satu hal yang Lia inginkan, bisa berteman dengan siapa saja.
"Kenapa nggak ada yang mau main sama Lia?" Gadis kecil berumur lima tahun itu menangissesengukan. Kedua tangannya mengucek-ngucek mata. "Apa itu pembawa sial?" tanyanya pada diri sendiri. "Apa karena Lia nggak punya Mama sama Papa?"
"Lia! Lia! Bangun, Nak!"
Lia membuka mata dengan napas tersengal-sengal. Di samping ranjangnya, Nenek, menepuk-nepuk lengan Lia. Nenek yang khawatir melihat gadis muda itu menangis, menghapus air mata di pipi Lia dengan lambut.
Lia bangkit dari ranjangnya. Kemudian membiarkan punggungnya mendekat ke sandaran kasur. Gadis itu menutup mata, mengatur napasnya berusaha lebih tenang.
Nenek menggenggam kedua tangan Lia. "Mimpi buruk?" tanya Nenek pelan. "Lia, kamu bisa cerita sama Nenek."
Kelopak mata Lia terbuka, lalu ia menatap Nenek dan memeluk wanita tua itu, Satu-satunya orang yang Lia miliki sejak kecil hanyalah Nenek. Dan Lia tidak mau kehilangan orang yang ia sayangi.
"Nek, siapa sebenarnya orang tua Lia?"
***
Will membuka jendela besar kamarnya yang mengarahkannya pada balkon kecil. Angin malam menerpa wajahnya, ia menghirup udara itu sambil menutup mata. Ketika ia membuka kembali matanya, ia mengagumi lautan bintang-bintang berpendar menghiasi langit malam. Cowok itu tampak murung saat memandanginya.
"Will lihat bintang paling terang di sana?" ucap seorang wanita muda sambil mengelus lembut kepala seorang anak laki-laki berumur tujuh tahun.
"Lihat, Ma. Bagus banget ya," balas Will dengan senyum yang memperlihatkan satu gigi tanggal dan beberapa gigi yang menghitam.
Wanita muda itu tersenyum lembut dengan wajahnya terlihat pucat, tetapi tidak menghilangkan kecantikannya. "Kalau Mama jauh dari Will, terus Will rindu sama Mama, lihat bintang itu ya! Mama pasti ada di sana sama Will."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aureliana
Teen FictionDAFTAR PENDEK THE WATTYS 2021 Kalau saja bisa, Aureliana akan memohon pada Tuhan untuk membatalkan kehadirannya sebagai manusia di dunia. Selama enam belas tahun, gadis yang dijuluki Cewek Kutub itu hidup dalam ketidaktahuan tentang siapa dirinya. S...