Hening sekali.
Sebenarnya, canggung untuk Ara yang sudah terbiasa hidup di tengah suasana ramai yang keluarganya miliki. Saat makan malam biasanya saat-saat di mana dia dan kakaknya berebut jatah makanan, Mama yang memarahi mereka berdua, dan Papa yang menengahi. Pun ketika bersama dengan Juniar, mereka berdua yang memiliki karakter cerewet, kendati Juniar berjenis kelamin lelaki, namun mereka sudah terbiasa untuk saling berbagi cerita. Apalagi kalau sudah jarang bertemu. Jadi kesimpulannya, makan malam yang biasanya dialami oleh Ara tidak pernah sesunyi ini.
Namun Papa dan anak yang ada di hadapannya nampak luar biasa tenang. Jingga yang sudah bisa mandiri dan menyuapkan makanannya seorang diri, Sena yang juga makan dengan teramat tenang. Hanya ada bunyi dentingan antara piring dan sendok pun garpu yang mereka pakai.
Ara mau membuka pembicaraan juga takut salah-salah bicara. Jadinya, gadis tersebut hanya menikmati ayam goreng dan sop yang dihangatkan Sena beberapa saat lalu.
"Jingga, wortelnya dimakan. Wortel itu baik untuk matamu."
Akhirnya ...
Jingga tampak merengut kesal. Mencebikkan bibir, namun toh ia tetap menjejalkan potongan wortel ke dalam suapannya, "Tapi Jingga nggak suka."
"Dibiasakan supaya suka," titah Sena. Final. Dan Jingga seperti tidak memiliki pilihan lain kecuali mengangguk kendati Ara tahu, dalam hatinya pasti si kecil tengah protes keras.
"Ah, Ara, nanti kamu pulang dengan apa? Perlu saya antar?"
Ara mengerjap sesaat. Setelah beberapa detik mencerna, gadis tersebut menggeleng cepat, "Nggak perlu, Mas. Nanti saya di jemput."
Sena mengangguk dan meneruskan kegiatannya memotong daging ayam, "Kamu ngekos? Atau ngontrak?"
"Ngontrak. Tapi ramai-ramai gitu."
Kembali Sena mengangguk.
Dan suasana kembali hening.
Ara menghela napas, padahal gadis itu luar biasa cerewetnya. Namun, ia agaknya harus terbiasa dengan keadaan yang terjadi saat ini. Belum lagi aura Sena yang terlihat luar biasa mendominasi dan Ara tidak berani melakukan apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Redup. ✔️
Romansa[COMPLETE] Lewat setiap canda yang kita tertawakan dan seulas senyum yang kerap dijadikan pahatan. Ada sebuah cerita yang saya pikir perlu kamu dengarkan. Karena barangkali saja sebuah kehilangan yang kita rasakan, cukup untuk membuat kita sadar un...