[COMPLETE]
Lewat setiap canda yang kita tertawakan dan seulas senyum yang kerap dijadikan pahatan. Ada sebuah cerita yang saya pikir perlu kamu dengarkan. Karena barangkali saja sebuah kehilangan yang kita rasakan, cukup untuk membuat kita sadar un...
Jangan lupa follow instagramku @bintangsarla untuk konten-konten menarik dan update-an cerita-ceritaku di sana.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Malam semakin beranjak kendati riuhnya Yogyakarta seolah enggan mereda. Ara menatap kosong jalanan luar yang masih dipenuhi kendaraan orang-orang yang tengah berakhir pekan. Di bangku belakang, Jingga sudah terlelap sejak tadi selepas mereka bermain bersama ke taman dan berbelanja kebutuhan bulanan. Sementara Sena tak juga berniat membuka pembicaraan apapun. Bahkan suara radio yang sejak awal dinyalakan, dimatikan begitu saja oleh si Jumantara.
Permasalahan yang kemarin mereka hadapi tidaklah main-main. Ara tentu tahu itu tergolong besar dan ia tidak tahu harus berbuat apa. Agaknya, diam dan bertindak menjadi pihak yang tidak peduli adalah hal yang paling aman untuk dia lakukan. Ara harus tetap menjaga batas. Lagipula, dia masih mempunyai rencana hidup yang panjang, mimpi-mimpi yang harus ia raih, dan janjinya kepada Navarendra yang harus ia tepati.
Bahwa ia akan hidup baik-baik saja.
"Canggung sekali, ya?"
Ara tidak menggubris itu. Ucapan Sena yang akhirnya terdengar setelah semalam mereka hanya saling mendiamkan. Berakhir Ara yang diantar pulang dan si Jumantara yang mengendarai mobil seperti orang kesetanan. Singkatnya, mereka terjebak dalam keheningan sampai pagi ini saat tiba-tiba Sena mengajaknya keluar.
"Ara, saya minta maaf sudah melibatkan kamu. Semalam itu spontan dan hanya itu yang ada di pikiran saya."
Ara masih diam dan memandang ke luar jendela.
"Ara ... kamu marah?" menyadari tak ada jawaban, Sena melepas satu napasnya seraya berujar frustasi, "Tentu saja kamu marah. Bodoh sekali saya tanya seperti itu."
"Saya nggak mau hidup saya yang tenang-tenang saja mendadak harus terganggu gara-gara Mas, ya."
Sena menghentikan mobilnya saat lampu lalu lintas berwarna merah. Ia gunakan itu untuk melihat Ara dengan seksama, "Kamu nggak perlu khawatir. Kita nggak akan ketemu mereka lagi."