[COMPLETE]
Lewat setiap canda yang kita tertawakan dan seulas senyum yang kerap dijadikan pahatan. Ada sebuah cerita yang saya pikir perlu kamu dengarkan. Karena barangkali saja sebuah kehilangan yang kita rasakan, cukup untuk membuat kita sadar un...
Sebelum baca, jangan lupa tekan tombol bintangnya.
Selamat Membaca dan Selamat Bersemesta 🌌
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Menjadi anak pertama ... se-melelahkan itu ya, Kak Sena?"
Jika ditelisik kembali dengan membawa serta Senarai kepada saat-saat terdahulu. Si Jumantara bisa sedikit-banyaknya mengingat alasan kenapa dulu dia pernah tergila-gila dan menjatuhkan hatinya pada Kaluna Maharani. Atau bagaimana dua netra bulat itu tampak memenjarakan Sena untuk mengambil waktu sedikit lebih banyak hanya menatapnya. Entah. Satu sisi dalam dirinya merasa bahwa itu adalah hal menyenangkan yang bisa ia temukan dari dua iris cokelat yang menjadi kesukaannya sejak lama. Merasakan sebuah kedamaian dan ketenangan saat pandangan mereka saling mengunci dan Sena merasa waktu seolah berhenti di detik itu.
Barangkali, hanya dengan melihat sepasang mata indahnya yang teduh ditambah bonus senyum hangat Kaluna, Sena merasa dia seperti menemukan rumah baru baginya.
Segala perasaannya, segala lelah yang selama ini dia tahan sendiri. Sena tidak tahu bagaimana bisa Kaluna menemukan itu semua dan mengetahui secara gamblang bahkan sebelum Sena memberitahu. Seolah diri Sena sangat amat mudah terbaca begitu saja oleh si Maharani.
Dan Sena tidak bisa menolak bahwa itu cukup menyenangkan. Karena memang, Sena tidak perlu menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk bercerita dengan perasaan harap-harap cemas seseorang tempatnya melabuhkan sepotong kisah itu akan mengerti perasaannya. Atau yang sederhananya saja, tidak menghakimi si Jumantara. Ditambah sebuah tambahan kalimat lainnya sebagai tanggapan yang sebenarnya cukup membuat Sena kesal, layaknya: "Kamu masih mending, Sena. Aku bahkan pernah mengalami hal yang lebih buruk dari itu", "Duh, Sena. Kenapa mesti sedih, sih? Keluargamu kaya raya, kamu nggak pernah kesusahan makan dan minum. Kebutuhanmu terpenuhi. Masalah begini saja kamu sudah sedih", "Begitu saja kamu mau menangis, Sena? Cengeng sekali. Laki-laki itu harus kuat, tau".
Sedikit-banyaknya, itu adalah beberapa kalimat yang Sena jumpai saat ia sedang menyampaikan keluhannya akan sesuatu. Dan karena kalimat-kalimat itu pula, sejak saat itu Sena tidak butuh berpikir dua kali untuk sekadar membagi sedikit kisah hidupnya. Menelan semua lelah dan keluh kesah itu seorang diri kemudian menyembunyikan diri sebaik mungkin jika dia tak tahan untuk mempertahankan air matanya tidak meluncur deras.