[COMPLETE]
Lewat setiap canda yang kita tertawakan dan seulas senyum yang kerap dijadikan pahatan. Ada sebuah cerita yang saya pikir perlu kamu dengarkan. Karena barangkali saja sebuah kehilangan yang kita rasakan, cukup untuk membuat kita sadar un...
Sebelum baca, jangan lupa tekan tombol bintangnya.
Selamat Membaca dan Selamat Bersemesta 🌌
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dulu sekali, Navarendra pernah berkata dengan suara berat nan lembut miliknya, "Ara, aku merasa belum menjadi manusia serutuhnya."
Ara yakin saat itu dia bisa mendengar satu bait kalimat yang disampaikan Nava secara jelas. Diterima cukup baik rungunya sampai dia yang saat itu sedang berkutat dengan soal-soal yang tersaji di buku berhalaman tebal harus mengambil jeda sesaat untuk memandang si penyampai topik.
"Memangnya kamu setan?" balas Ara sekenanya. Dia sedang cukup dipusingkan dengan deretan soal-soal integral yang terlihat seperti cacing meliuk-liuk karena kepanasan di matanya. Tidak mengambil pusing atas ucapan Navarendra yang menyimpan sirat keseriusan di dalam sana.
Lantas menerima respon candaan dari Ara, Nava pada akhirnya menyimpul senyum sebelum mengudarakan tawa renyah dari suara bariton miliknya. Pemuda tersebut memilih melipat tangan dipinggiran meja, lantas menjadikan itu sebagai tumpuan dagu dengan kepala yang mendongak. Menikmati keseriusan yang tercetak jelas di wajah kekasihnya.
"Aku kayaknya lagi nggak bisa ngomong serius, ya? Habisnya kamu nggak kalah seriusnya."
Ara berdecak kesal seraya menatap lurus Navarendra yang tengah menatapnya lamat-lamat, "Belajar, Nava. Besok kita mau ujian."
"Kan sudah ada kamu yang belajar." Nava mengubah posisi. Bertopang dagu dan tetap menjadikan Ara seolah menjadi hal paling menarik untuk terus dilihatnya.
Melihat senyum Nava yang tak juga menghilang, Ara mati-matian menyembunyikan rona merah yang tampak di belah pipinya. Mencoba tetap fokus dan tidak jatuh pada rayuan Navarendra. Ia lantas mendaratkan pulpen ke dahi Nava yang ditutupi poni. Mengundang pekikan kecil dari pemuda tersebut dan mengaduh dramatis.
"Sudah dibilangin belajar. Kalau tau pinter ya tetap belajar juga. Seenggaknya, ajarin aku. Kan aku niat undang kalian ke sini biar ajarin aku." Ara merengek tidak terima. Protes lantaran sejak tadi Nava sulit sekali diajak serius.