Sebelum baca, jangan lupa tekan tombol bintang terlebih dahulu yah 💜
SEUSAI MENUNGGU selama beberapa menit, sebuah toast lengkap dengan satu gelas jus sirsak terhidang di hadapannya. Untuk sesaat, Ara mengerutkan dahi dan terang-terangan menunjukkan ekspresi heran. Berbanding terbalik dengan Sena yang tengah mematri senyum manis nan hangat di hadapannya.
"Ada apa?" tanya Sena kala sudah bisa membaca ekspresi wajah Ara.
"Err," Ara menggaruk tengkuknya canggung, "harusnya tadi saya bilang kalau dibungkus saja."
"Oh, kalau mau bungkus nanti saya bungkuskan―"
"Nggak usah, Mas," Ara cepat-cepat memotong. Dua tangannya melambai spontan dengan badan yang tegak sempurna, "Ini saja sudah cukup. Saya habiskan."
Melihat ekspresi Ara yang terlihat bersalah, Sena kembali memasang senyumnya, "Serius nggak apa-apa?" tanyanya memastikan.
"Justru saya yang tanya. Apa nggak kenapa-kenapa saya nunda waktunya Mas untuk pulang?"
Sena melirik jam yang tertempel sempurna di dinding kafenya. Setelah itu ia menggeleng. Memperlihatkan kembali lesung pipit yang Ara tebak sangat mudah terlihat kendati pria tersebut hanya menarik sudut bibirnya sedikit.
Suara dering ponsel milik Sena terdengar. Pria tersebut mengambil gawai di kantung celananya. Sebelum kembali memasang senyum terakhir pada Ara, "Makan saja. Santai. Saya bisa sambilan ngerjain yang lain," katanya yang kemudian berlalu dan berbicara dengan si penelepon.
Ara tersenyum tipis dan mengangguk. Bunyi di perutnya sudah terdengar jelas dan makanan yang terhidang di hadapannya jelas sekali sangat menggugah selera. Sudah sejak lama ia ingin memakan toast dari kafe yang beberapa waktu lalu direkomendasikan Juniar, sahabatnya. Ara yang saat itu bermodalkan makan gratis karena anak sultan itu yang membelikannya. Selepasnya, Ara jelas ketagihan. Namun harus tetap ditahan olehnya lantaran harga yang tidak terlalu bersahabat dengan jumlah uang di dompetnya.
"Bibi kenapa baru ngabarin sekarang? Saya nggak punya waktu untuk cari pengasuh lain."
Ara mengalihkan perhatiannya. Dengan dua tangan yang menggenggam toast miliknya dan pipi yang menggembung berisi kunyahannya sejak tadi. Suara Sena yang terdengar cukup jelas sampai telinganya. Pria tersebut kini tengah duduk di meja kasir. Barangkali sembari menghitung pemasukan hari ini.
Kendati lelaki itu tampak mengambil jeda sembari memijat pelipis dan alis yang menyatu sempurna.
"Kalau cuma jemput Jingga atau antar dia ke sekolah mungkin masih bisa. Tapi kalau saya lagi kerja, gimana? Bibi tau sendiri dari siang sampai malam saya sibuk ngurus kafe."
Jeda sesaat barangkali Sena mendengar si penelepon tengah bicara. Sejujurnya, Ara sedang tidak ingin mendengar mencuri dengar urusan orang. Namun salahkan Sena yang mengambil posisi menelepon tak jauh darinya. Atau barangkali saja lelaki tersebut tidak sadar nada suaranya yang meninggi dan presensi Ara di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Redup. ✔️
Romance[COMPLETE] Lewat setiap canda yang kita tertawakan dan seulas senyum yang kerap dijadikan pahatan. Ada sebuah cerita yang saya pikir perlu kamu dengarkan. Karena barangkali saja sebuah kehilangan yang kita rasakan, cukup untuk membuat kita sadar un...