[COMPLETE]
Lewat setiap canda yang kita tertawakan dan seulas senyum yang kerap dijadikan pahatan. Ada sebuah cerita yang saya pikir perlu kamu dengarkan. Karena barangkali saja sebuah kehilangan yang kita rasakan, cukup untuk membuat kita sadar un...
Sebelum baca, jangan lupa tekan tombol bintangnya. Anyway, aku nggak revisi bab ini. Jadi kalau ada kekeliruan, komen saja jangan malu-malu. Akan aku perbaiki.
Selamat Membaca dan Selamat Bersemesta 🌌
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ara memasuki sebuah restoran sesuai petunjuk yang diberitahukan Sena pagi tadi. Bersama dengan Juniar, mereka melangkah perlahan. Meluaskan pandangan pada setiap sudut tempat, sampai sebuah meja di sisi kanan tepat samping jendela, di situlah Sena berada dengan tangan melambai seraya memperlihatkan senyum simpul dan lesung pipinya.
Juniar juga bertanya-tanya sebenarnya kenapa dirinya turut diundang. Karena terus terang saja, dia hanya ingin hidup damai, tenang, dan sentosa tanpa perlu ikut campur ke dalam ranah pribadi antara Ara dan Sena. Namun, saat Sena turut berkata mengajaknya, Juniar tentunya tidak akan menolak acara makan gratis itu. Pun jika di pikir kembali, barangkali itu karena dia yang sering bolak-balik mengantar-jemput Ara dan sesekali bertukar topik dengan si Jumantara.
Keduanya duduk setelah saling bertukar sapa. Sena yang memanggil pelayan dan mereka menyebutkan pesanan satu per satu. Seperti biasanya, Jingga yang tidak ingin jauh dari Ara segera menghambur ke pelukan gadis tersebut. Merengek meminta Ara untuk duduk di sampingnya. Ara tentunya terima-terima saja. Lagipula, siapa yang bisa menolak anak menggemaskan seperti itu?
Juniar? Tentu saja menahan diri untuk tidak mencubit ataupun memperlihatkan kegemasannya terang-terangan. Setidaknya, tidak di depan Sena.
"Gimana kemarin seminar proposalnya?"
"Dosen pengujinya dia mah enak, Mas," Si pemuda Nabastala yang mengambil jawaban, "mungkin karena ditau si Ara ini otaknya pas-pasan. Jadi, dapet dosen penguji yang baik. Nggak yang teriak-teriak atau killer gitu. Beda sama aku."
Sena terkekeh. Ara yang mendelik tak terima di bilang pas-pasan itu tampak lucu di matanya, "Iya? Berarti lancar, dong."
"Syukurnya gitu. Dan revisiannya juga nggak terlalu banyak. Jadi, kayaknya seminggu sudah selesai," ucap Ara.