#Redup28. Rumah Pemberian Papa

196 58 10
                                    

Tolong vote komennya jangan lupa ya. Biar aku semakin semangat juga updatenya.

Selamat bersemesta

Selamat bersemesta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

            "Mas, aku ini adik sekaligus anak yang nyusahin, ya?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


            "Mas, aku ini adik sekaligus anak yang nyusahin, ya?"

Sena tidak tahu kenapa tiba-tiba sebuah memori itu muncul di benaknya. Menghentikan kegiatannya yang tengah mencuci piring bahkan nyaris menjatuhkan satu di genggaman jika ia tidak cekatan.

Si Jumantara melepas satu desahan napas berat, mencoba mengabaikan rengsekan ingatan tentang pemuda bergigi kelinci dalam benaknya. Sena agaknya tidak mampu untuk menahan bagaimana perasaan sakit itu mendadak menghantam dadanya. Lantas meletakkan piring yang masih berbusa, melepas sarung tangan karet. Ia menunduk serta menjadikan tangannya sebagai tumpuan pada pinggiran westafel.

"Kenapa bicara begitu?" suara Sena yang menimpali pun menyambangi pikirannya.

"Karena aku sudah buat kalian kecewa. Aku juga selalu jadi alasan Mas nggak bisa dapat apa yang Mas mau, kan? Maaf, ya. Dulu aku terlalu egois. Mas harus relain semua yang Mas ingin untuk aku."

Tidak, tidak. Bukan begitu konsepnya.

"Aku janji kok, Mas. Ini yang terakhir kalinya. Setelah ini aku nggak akan nyusahin Mas Sena lagi. Biarin aku berjuang dulu, ya. Tunggu sebentar lagi. Sampai aku bisa buat Jingga jadi anak perempuan paling hebat dan sukses. Sampai aku bisa sanggup hidupi kebutuhan Jingga sendiri. Setidaknya tunggu sampai saat itu dan aku nggak akan ngerepotin Mas lagi."

Namun mendadak memori tersebut melebur. Bercampur bersama dengan kenangan-kenangan lainnya. Menyusun potongan-potongan fregmen menjadi sebuah kejadian. Seolah dihantam gada, si Jumantara mengambil napas dalam-dalam. Memenuhi stok udara yang kian menipis di paru-paru. Serta mencoba mengenyahkan perasaan sakit yang menempel dalam ulu hatinya.

Wajah cerah dengan pendar harapan di dua netra rusanya. Lambaian tangannya dengan sebuah kata pamit yang selalu menyertai. Semua itu seolah bergerak layaknya sebuah film yang diputar cepat menjadi sebuah memori terakhir tentang Jengga yang diingatnya.

Redup. ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang