Tekan tombol bintang dulu sebelum baca. Anyway, happy reading :))
Berdiri di depan kafe milik Sena tepat pukul dua siang agaknya menjadi pilihan yang tepat. Bersyukur semangkuk soto sebagai menu tadi cukup mengganjal setidaknya sampai waktu makan malam. Lantaran harga-harga makanan yang berada di kafe milik Sena sedikit tidak bersahabat, khususnya untuk Ara pribadi."Mau aku tinggal?"
Ara menoleh, di sampingnya Juniar masih duduk di atas motor dengan mesin yang menyala, "Memangnya kalau aku nggak mau ditinggal, kamu mau temani aku?"
Juniar tampak berpikir sejenak, "Lama nggak kira-kira?"
"Kayaknya."
"Ya sudah, ku tinggal saja, deh. Nanti kalau ada apa-apa kabari saja. Kalau mau jemput juga tinggal telfon."
"Kamu mau kemana habis ini?"
"Tidur."
"Oke."
Selepas melambaikan tangan dan berpamitan, Ara akhirnya masuk. Bunyi lonceng terdengar dan sayup-sayup orang mengobrol langsung menyambutnya. Beberapa kebanyakan pekerja kantoran atau mahasiswa berdompet tebal yang memilih menongkrong sembari mengobrol di sana.
"Ara."
Setelah celingukan sana-sini dan hampir saja didatangi salah satu pelayan di sana. Ara melihat Sena memanggilnya dari balik meja kasir. Pria tersebut menyuruh salah satu bawahannya untuk menggantikan selagi dia mendatangi Ara.
"Jingga, sini, Nak."
Di sana atensi Ara sontak beralih ke satu sosok yang dipanggil Sena. Seorang anak kecil yang tengah bermain dengan salah satu pegawai wanita, berlari kecil dengan tas bergambar barbie di punggungnya dan tertawa riang dengan dua tangan terentang.
Sena tertawa kecil menampilkan lesung pipitnya. Pria tersebut berjongkok untuk menyambut pelukan anaknya dan membawa si kecil ke dalam gendongannya, "Duh, pintarnya anak Papa."
"Papa, tadi Jingga baru selesai menggambar sama tante Nala."
"Iya? Wah, gambar apa?"
"Gambar bunga. Tante Nala yang ajari." Jingga berbicara menggebu dengan senyum lebar memperlihatkan gusi merah muda dan dua gigi serinya yang tidak ada. Barangkali saja baru dicabut. Sedang Sena, selagi menanggapi cerita anaknya, memberikan tanda bagi Ara untuk mengikuti langkahnya.
"Nah, Jingga. Kenalkan, ini Mba Ara."
Ara mencoba memasang senyum semanis dan seramah mungkin. Perempuan tersebut melambaikan tangan ringan dan memberikan aura bersahabat. Kendati si kecil justru malu-malu dan bersembunyi di balik tubuh besar Sena dengan ujung baju pria tersebut yang ditarik-tarik.
"Jingga, jangan malu. Ayo, salim dulu sama Mba Ara. Kenalan. Karena Bibi sudah nggak bisa ngurus Jingga lagi, nanti Jingga sama Mba Ara dulu, ya."
Sena membujuk anaknya. Membawa si kecil untuk duduk di pangkuan lelaki tersebut sambil berbisik dan menenangkan Jingga yang barangkali saja tengah mencoba beradaptasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Redup. ✔️
Romantik[COMPLETE] Lewat setiap canda yang kita tertawakan dan seulas senyum yang kerap dijadikan pahatan. Ada sebuah cerita yang saya pikir perlu kamu dengarkan. Karena barangkali saja sebuah kehilangan yang kita rasakan, cukup untuk membuat kita sadar un...