Satu tahun yang lalu, Jingga berada di tempat yang sama. Bukan di rumah sakit yang sama, sih, tetapi sama-sama rumah sakit. Di mana dia duduk bersama dengan Sena di sisi kirinya. Ia sama sekali tidak paham kala itu. Yang dilihatnya hanyalah Sena yang tengah tertunduk dalam. Sikunya bertopang pada lutut dengan jemari yang bertautan. Jingga yang tidak tahu apapun hanya bisa mengerjap bingung. Menarik ujung baju Sena perlahan sebelum bertanya polos."Papa, Ayah nggak apa-apa, kan?"
Benar sekali. Satu hal yang Jingga tahu hanyalah ketika dia berada di dalam gendongan Sena. Papanya itu berlari kencang sampai mengabaikan beberapa orang yang tidak sengaja ditubruknya. Di depan mereka, Narajengga tengah terbaring lemah bersimbah darah dan sedang dibawa melewati lorong panjang rumah sakit untuk segera ditangani.
Ayah sedang sakit. Begitulah pemikiran sederhana yang terlintas di kepalanya. Jingga saja yang jatuh dari sepeda, sakitnya bukan main. Apalagi Ayah?
Namun bukan sebuah kalimat penenang yang didapatkan Jingga. Setelah nyaris satu jam berdiam diri dan tidak berani mengusik Sena, Jingga bisa melihat mata memerah dan sembab milik pamannya tersebut tepat di hadapannya. Detik setelahnya, si kecil mendadak sudah terangkat cepat berada di pangkuan Sena. Dipeluknya habis dengan teramat erat dengan bisikan lirih menyapa rungunya.
"Tidak apa-apa. Jingga tidak akan sendirian. Jingga masih punya Papa."
Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?
Jingga ingat sekali ketika Ayahnya dulu, Narajengga, mengajarkan bagaimana cara menenangkan seseorang ketika menangis. Pun gadis tersebut juga pernah melakukan hal yang sama ketika mendapati Narajengga menangis tanpa suara tengah malam. Jadi, gadis tersebut kini melakukan hal yang sama.
Mengalungkan dua lengan mungilnya pada leher Sena, dan setelahnya mengusap belakang kepala pamannya dengan lembut. Hal yang dulu seringkali dilakukan Jengga padanya, yang juga dilakukan sebaliknya, kini Jingga terapkan untuk menenangkan pamannya.
Sena yang mendapati keponakannya itu menenangkannya terkesiap. Tangisnya terhenti dan pelukannya terlepas sepihak. Ekspresi polos tidak tahu apa-apa kembali membuatnya meringis dalam hati. Tangannya spontan mengepal dan napasnya tertahan. Tuhan, bagaimana cara Sena menjelaskan semua pada anak ini? Bagaimana cara Sena memberitahukan bahwa Narajengga benar-benar pergi dan tidak akan kembali lagi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Redup. ✔️
Romance[COMPLETE] Lewat setiap canda yang kita tertawakan dan seulas senyum yang kerap dijadikan pahatan. Ada sebuah cerita yang saya pikir perlu kamu dengarkan. Karena barangkali saja sebuah kehilangan yang kita rasakan, cukup untuk membuat kita sadar un...