"Semua yang dilakukan atas nama Allah, pasti Allah akan mempermudahkan jalannya."
-
-
-"Raka, bangun, Nak! Masa kamu enggak salat subuh, hm? Ini sudah mau jam enam sayang," ujar Irlen.
Entah ke mana Raka yang dulu rajin, entah ke mana raga Raka yang tak pernah membangkang.
Raka menggeliat, menampakkan sang bunda di sampingnya sambil mengusap rambutnya halus.
"Kamu kenapa, hm? Ada masalah?" tanya Irlen, Raka mengangguk.
"Kenapa? Sini coba cerita sama bunda!" ujar Irlen.
"Eh, tapi salat dulu sebelum waktunya habis, buruan!" Raka mengangguk, akhirnya ia bangkit untuk melaksanakan kewajibannya.
Raka membaringkan kepalanya dengan bantalan kaki Irlen. Usai salat, ia benar-benar tidak ada semangat ketika mengingat kejadian kemarin.
"Kok belum pakai seragam?" tanya Irlen melihat Raka yang kusut sambil menatapnya sayu.
"Bun, misalnya Bunda dicium sama cowok tapi enggak sengaja, apa yang akan Bunda lakukan?" tanya Raka tanpa melepaskan tatapan pada bundanya.
Irlen tersenyum kala Raka mau jujur terhadapnya. "Yang jelas bunda akan marah sama diri bunda sendiri karena enggak bisa menjaga apa yang seharusnya dijaga," ujar Irlen.
"Terus, kalau Bunda jadi cowoknya, Bunda mau bagaimana?" tanya Raka lagi, memastikan bahwa bundanya yang akan membantunya mencari jalan keluar.
"Bunda ... hm, bunda akan datangi rumah cewek itu sambil minta maaf ke orang tuanya. Kalau perlu, bunda sujud di kaki mamanya," ucap Irlen, Raka langsung bangkit dari posisinya.
"Berarti Raka harus lakuin itu dong, Bund?!" ucap Raka. Irlen membulat, ternyata Raka bertanya karena ia mengalaminya.
"MAKSUD KAMU?!" Suara Irlen meninggi menandakan amarahnya mulai tak terkendali.
Raka menunduk, menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Ra—Raka kemarin mau nanya soal cewek yang mirip Adiba, tapi Raka ajak di pinggir Masjid yang sepi karena ini privasi masa kecil Raka, tapi ... saat Raka mau bicara malah banyak anak kecil yang dorong Raka yang akhirnya Raka kehilangan keseimbangan dan jatuh menubruk dia sampai hm, bibir Raka menempel di pipinya," ucap Raka sambil menunduk.
"Raka minta maaf, Bunda ...," sesal Raka dengan wajah paraunya. Irlen tersenyum laki-laki ini mau mengakui kesalahannya.
"Minta maaf ke gadis itu, gih! Jangan ke bunda, 'kan kamu enggak salah apa-apa sama bunda. Gih, sana berkunjung ke rumahnya untuk minta maaf! Kalau enggak, kamu samperin ke sekolahnya," ujar Irlen. Nasihatnya memang tak pernah diragukan lagi.
"Raka satu sekolah, apa perlu Raka ke rumahnya?" tanya Raka.
"Kalau dia masih tidak mau memaafkanmu, datangi rumahnya dan temui orang tuanya, kamu jelaskan semuanya," ujar Irlen. Raka mengangguk.
Laki-laki bertubuh atletis itu langsung mengganti seragamnya. Melihat sekilas gelang yang ada di meja belajarnya sambil tersenyum. Raka memasukkan gelang itu ke saku celananya.
"Adiba, ini aku ... seseorang yang selalu mencarimu. Sekarang kamu udah aku temui, Diba. Tolong jangan mempersulit semuanya," batin Raka sambil memejamkan matanya.
***
"Khayla, tunggu!"
Gadis bernama Khayla menghela napas kasar tatkala suara yang ia kenal mengusik indra pendengarannya. Ia mengendus saat tahu apa yang akan Raka lakukan, pasti meminta maaf.
"Aku udah memaafkanmu. Lain kali, jangan pernah bicara berdua di tempat yang sepi karena setan akan selalu mencari celah," ujar Khayla tanpa menoleh ke belakangnya.
"Alhamdulillah, terima kasih, Khayla," puji Raka. Koridor kelas 10 yang tampak sepi membuat Khayla takut kejadian kemarin terulang lagi, ia melangkahkan kakinya cepat menuju tempat yang lumayan ramai.
"Masih ada yang mau aku tanyain," ucap Raka. Khayla diam di tempat tanpa menoleh.
"Silakan. Maaf aku membelakangimu, aku tak mau melarang apa yang sudah ditentukan-Nya," ujar Khayla.
"Kamu kenal Zaidan Pradigta?" Deg. Dada Khayla berdesir hebat tatkala nama itu disebut. Ia melihat pergelangan tangannya, tetapi tidak ada gelang pemberian Zidan dulu.
"Ke mana gelangnya?" batin Khayla.
"Kamu cari gelang, 'kan? Gelangnya ada di aku. Boleh minta penjelasan kenapa gelang itu ada di kamu? Karena, ini milik Adiba, Khayla." Deg. Lagi-lagi Khayla mematung, ingin sekali ia menangis detik ini juga.
"Ya Allah, apakah Raka ini Zaidan?" lirihnya dalam hati.
Khayla membalikkan badannya tanpa menatap Raka. "Berikan gelangnya padaku!" ucap Khayla sambil mengadahkan tangannya, sedangkan Raka terkekeh dengan gadis ini.
"Aku Zaidan, Adiba," ucap Raka tiba-tiba membuat gadis itu mematung.
"Enggak mungkin! Sini balikin! Zidan itu udah jahat, dia ninggalin aku dua belas tahun tanpa kabar, jadi jangan ngaku-ngaku deh!" sarkas Khayla.
"Aku yakin kamu cuma menerka lewat gelang dan absensiku, 'kan?!" kata Khayla. Berbeda dengan hatinya yang merindukan sosok itu. Namun, jika Raka adalah Zidan ... bagaimana mungkin alur yang diberikan-Nya begitu dekat?
Raka menyerahkan gelang itu. Lantas Khayla langsung pergi dari hadapannya.
"Terima kasih sudah menjaganya dengan baik," ucap Raka sebelum gadis itu pergi.
"Maafkan aku, Zidan, aku tahu itu kamu, tapi aku belum siap kalau luka lama kembali aku rasa. Aku butuh waktu buat melupakan masa kecil kita, Zidan," batin Khayla, mengingat masa kecil yang terlalu indah untuk dilupakan.
"Aku tahu kamu udah percaya, Diba, kamu hanya kesal denganku, bukan? Ini hanya tentang waktu, aku yakin suatu saat kamu pun merasakan hal yang aku rasakan, Adiba," gumam Raka setelah kepergian Khayla.
"Semua yang berawal dengan kasih sayang, maka akan berakhir pula dengan hal yang sama. Semua yang dilakukan atas nama Allah, pasti Allah akan mempermudahkan jalannya. Ya Allah ... semoga Adiba cepat mengakui dan kami kembali bersahabat seperti dulu."
"Tunggu aku, Diba, tunggu aku menepati janjiku untuk meminangmu, menjadikanmu zaujatiku. Laa hawla wa laa quwwata illa billah."
-
-
-
Vote, komen dan bantu share yaaa❤
Terima kasih!
Jangan lupa salat malamnya^^
~Dinda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Zaujaty (SUDAH TERBIT)
SpiritualPEMBELIAN NOVEL DEAR, ZAUJATY : Cek link di bio, tekan menu Novel Dear, Zaujaty atau bisa langsung ke WA-ku. - - "Bertemu denganmu adalah cara semesta memberi tahu bahwa ... tidak ada kisah yang berakhir sebelum pamit, kecuali atas nama takdir." -Ra...