"Terkadang Allah membiarkan kamu merasakan kepahitan dunia ini supaya kamu dapat sepenuhnya menghargai manisnya iman." —Omar Suleiman.
- - -
“Mas, kayaknya keinginan kamu sudah Allah kabulkan.”
Raka ternganga dengan ungkapan Khayla. Keinginannnya banyak, terutama bisa ke Kota Mekah bersama Khayla. Namun, apa hubungannya dengan Khayla muntah-muntah?
“Keinginan yang mana?” tanya Raka seraya mengernyit.
“Yang … hm, kayaknya aku hamil.” Deg. Detik itu juga jantung Raka seolah tak berpacu lagi. Apa ini? Sebuah kebahagiaan yang datang secara bertahap?
Raka berbinar, ia langsung menarik Khayla ke dalam dekapannya. Tangis harunya luruh. Ia juga baru sadar tamu bulanan Khayla sudah tak datang dua minggu semestinya.
“Ta—tapi aku belum tahu, lebih baik kita periksa dulu, Mas,” cicit Khayla. Raka sigap melepaskan pelukannya dan menarik lengan Khayla membuat wanita itu mengetnyit.
“Mau ke mana?” tanya Khayla.
“Periksa,” ucap Raka polos membuat Khayla mendelik.
“Enggak sekarang juga, sayang!” sergah Khayla.
“Udah mau magrib. Kita periksanya besok aja, ya?” imbuh Khayla.
Raka tidak menjawab, lelaki itu malah menggendong Khayla ala briday style untuk kembali ke kamar mereka.
“Ih! Kamu mah,” cibir Khayla, Raka terkekeh.
“Calon BunA enggak boleh kecapean,” ucap Raka setelah membaringkan Khayla.
“BunA?” beo Khayla.
“BunA. Bunda Adiba,” jelas Raka.
Dada Khayla berdesir cepat mendengar panggilan itu. Raka seolah telah menyiapkan dari jauh-jauh hari untuk panggilan ini.
“Kan belum tentu, sayang.”
“Tapi hati aku udah yakin banget. Kamu ‘kan udah telat dua minggu, tadi juga muntah keluarnya cuma cairan bening. Terus, kemarin tiba-tiba pengin seblak padahal kamu enggak suka seblak,” ungkap Raka. Khayla mengerjab tatkala memperhatikan wajah Raka dengan saksama semakin membuatnya salah tingkah.
“Kamu jangan pernah benci, ya, kalau kamu hamil di usia muda. Diba, anugerah Allah adalah hadiah terindah menurutku.”
Raka mengusap halus pipi Khayla yang masih setia menatapnya.
Khayla tersenyum dan membalas elusan pipi Raka hingga keduanya memamerkan lesung pipi mereka secara bersamaan.
“Aku enggak pernah benci, Mas. Justru, aku akan bahagia jika Allah benar-benar memberi kita anugerah di usia yang terbilang muda. Buat apa aku benci? Toh, kita menikah bukan karena sebuah kesalahan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Zaujaty (SUDAH TERBIT)
SpiritualPEMBELIAN NOVEL DEAR, ZAUJATY : Cek link di bio, tekan menu Novel Dear, Zaujaty atau bisa langsung ke WA-ku. - - "Bertemu denganmu adalah cara semesta memberi tahu bahwa ... tidak ada kisah yang berakhir sebelum pamit, kecuali atas nama takdir." -Ra...