DMZ | 38. Not Fine

3.3K 310 1
                                    

Terlalu sesak dikelabuhi rasa takut, Farel memutuskan untuk mengantar Khayla ke rumah sakit yang diberitakan. Wanita hamil itu merengek, ia tak siap jika itu benar-benar terjadi.

“Bang,” lirih Khayla. Farel nyaris hilang fokus dengan tangisan Khayla. Namun, ia ingat ada dua nyawa yang harus ia lindungi selain dirinya sendiri.

“Sabar dulu, ya! Semoga enggak terjadi apa-apa,” ujar Farel.

“Kamu jangan nangis terus! Ingat anak kamu! Kamu punya asma, Khayla, jangan terlalu dibuat sesak.”

Bagaimana tidak? Saat berita buruk itu menerpa Khayla tak sesak. Khayla hanyalah wanita lemah yang tak sekuat baja, ia bisa menangis kapan pun itu.
Sesampainya di parkiran rumah sakit, Khayla langsung keluar dan membanting kasar pintu mobil Farel.

Ya Allah, jangan ambil mas Zidan.” Khayla terus membatin seperti itu, mengalahkan sakit hatinya saat Raka memilih melindungi Nara dulu, ini … lebih menyeruak.

“Permisi, Sus. Saya mau tanya untuk korban kecelakaan beruntun tadi, apakah sudah ada daftar namanya?” tanya Farel pada resepsionis.

“Sejauh ini belum, Mas. Masih dalam tahap autopsi jenazah.” Deg. Air mata Khayla semakin mendesak ingin diluruhkan lebih banyak. Jenazah? Artinya … suaminya sudah tiada?

“Je—jenazah?” gumam Farel, ia ikut melemah sebenarnya, tetapi lengannya digunakan untuk menompang tubuh Khayla yang hendak ambruk.

“Astagfirullah ….” Lagi, luruhan air mata itu semakin banyak membasahi pipi yang beberapa hari lalu Raka cium.

“Bang, eng—enggak mungkin ‘kan, Bang?” lirih Khayla.

“Sebentar ya. Kamu tenang dulu oke?”

Farel kembali bertanya, “berapa jumlah korbannya, Sus?”

“Korban meninggal sebanyak tiga orang, dua orang lagi sedang dalam masa kritis.” Deg. Khayla menggeleng tak percaya. Kedua keadaan itu sama-sama menyakitkan untuknya. Namun, setidaknya masih ada harapan hidup untuk Raka.

“Boleh saya lihat?” Salah satu suster itu menggiring mereka menuju ruang UGD. Ada beberapa pihak kepolisian yang menjaga di luar.

“Permisi, Pak. Apa identitas korban kecelakaan sudah dikenali?” tanya Farel masih menahan tubuh Khayla.

“Sejauh ini belum, Dek. Kami masih mengumpulkan barang-barang mereka untuk identifikasi lebih lanjut,” ujarnya.

Khayla langsung merogoh ponselnya, walpapernya langsung menampakkan gelang buatan Raka dulu.

“Apa bapak menemukan gelang ini?” tanya Khayla.

“Tadi saya lihat di berita, gelang ini ada di sekitar TKP,” tambah Farel.

Polisi itu melihat saksama foto yang Khayla tunjukkan.

“Benar, ini salah satu barang yang kami temui di sebuah taksi. Satu korban sudah meninggal di tempat kejadian, satu lagi dalam masa kritis.” Deg. Khayla semakin sesak mendengarnya.

“Mari! Saya antar ke ruang ICU untuk melihat korban yang Anda maksud.”

Ada harapan kecil saat melihat orang itu adalah Raka. Raka belum meninggal, tetapi ia dalam masa kritis. Hal ini membuat Khayla tak mampu untuk menompang rasa sakitnya.

Farel dengan sigap menghubungi Nizam, Eva, Zahra, Ardian dan Irlen karena ia tak mungkin mengurus Khayla sendirian ketika dalam masa hamil besar seperti saat ini.

“Bang, Mas Zidan, Bang …,” lirih Khayla.

Farel tak bisa melakukan apa pun. Ia hanya bisa memberi elusan di kepala Khayla berharap menenangkannya.

“Istigfar, ya? Jangan gini terus!” ujar Farel.

“Astagfirullah al-azim ….”

Bruk! Khayla langsung ambruk di bahu Farel. Sudah Farel duga, adiknya tak sekuat yang orang lain kira. Farel langsung membawa Khayla ke ruang rawat dengan bantuan beberapa perawat.

Tabahkan Khayla, Ya Allah.”

***

Di alam bawah sadar Raka, sosok yang ia cintai selalu saja muncul. Setiap kali hendak melangkah, sosok itu menangis. Bersamaan dengan mimpi Khayla yang seolah mempertemukan ruh mereka.

“Mas, kamu mau ke mana?” tanya Khayla dalam alam bawah sadar mereka.

“Aku mau susul Nara, Diba,” ujar Raka seraya tersenyum.

“Kamu bilang kamu gak akan izinin aku untuk susul Nara. Sekarang, boleh aku bilang hal yang sama? Jangan susul Nara, Mas! Kamu belum lihat anak kita,” ujar Khayla dengan air mata yang berlinang.

Farel melihat Khayla yang sedang pingsan itu meneteskan air matanya.

“Tapi aku harus pergi, Diba.”

“Tapi aku enggak mau kamu pergi, Mas.”

Raka tersenyum. “Kalau begitu, kita pergi sama-sama, yuk!”

Khayla menggeleng. “Nanti, Mas! Dia ‘kan belum lahir. Kamu memangnya enggak mau ketemu anak kita?”

“Aku akan melangkah lagi, Diba. Di sana ada taman yang sangat indah.”

“JANGAN, MAS!!!”

***

PART TERPOTONG DEMI KEPENTINGAN PENERBITAN.

SILAKAN NIKMATI PART LENGKAPNYA DI VERSI WATTPAD YAA<3

Dear, Zaujaty (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang