“Kematian mendadak adalah istirahat bagi mukmin dan penyesalan bagi orang kafir.” [HR. Ahmad]
- - -
“Adiba … terima kasih.”
Sepertinya, pagi ini adalah pagi terakhir Raka dan Khayla bertemu dengan sosok Nara. Jantung gadis itu sudah sangat lemah, bahkan tak ada seorang pun yang tahu se-sakit apa Nara saat ini. Ia sudah tidak sanggup menahan semuanya.
Mamanya pun kini selalu di sampingnya setelah Raka mengabari mama dan papanya.
“Nar, kamu bisa sembuh kok. Insyaallah, kita akan jadi teman baik,” kata Khayla seraya menggenggam lengan kiri Nara.
Raka tersenyum simpul dengan Adiba-nya, hatinya seperti terbuat dari nur yang selalu lembut.
Nara tersenyum di samping rasa sakit yang menyeruak di dadanya.
“Aku tahu hanya Allah yang tahu kapan usiaku berakhir, Adiba, tapi … aku bisa merasakan malaikat maut seolah sudah ada di dekatku.” Deg. Air mata Khayla meluruh. Baru saja ia mendapatkan sahabat yang ingin berhijrah, tetapi Allah sudah memberikan cobaan yang cukup berat untuk Nara.
“Aku bersyukur di akhir usiaku Allah mempertemukanku denganmu, Adiba. Aku bersyukur Raka bisa jatuh ke tanganmu. Jujur, sejak awal perasaanku ke Raka enggak sebesar kamu, aku hanya merasa terlindungi saat bersamanya. Adiba, mungkin hijrahku hanya sesaat sebelum aku dipanggil, tapi karena kamu … aku bisa kenal Allah sebelum aku benar-benar pergi.” Khayla tidak bisa berkata-kata lagi. Meskipun terbilang teman baru, tetapi perasaan sebagai sesama perempuan Khayla bisa merasakan se-beruntung itu Nara bisa berhijrah sebelum maut benar-benar menjemputnya.
Nara memejamkan matanya sesaat, meluruhkan air mata yang sedari tadi ia tahan.
“Aku udah tenang, Adiba.” Tes … air mata Nara menetes bersamaan dengan Khayla dan Lia—mama Nara.
Beralih menatap mama dan papanya. Lia dan Davin. Nara semakin terisak di pelukan mereka.
“Ini akan menjadi pelukan terakhir Nara, Ma, Pa,” lirihnya.
“Enggak boleh bilang begitu, sayang! Berdoa supaya kamu bisa sembuh lagi kayak dulu!” ujar Davin.
Nara tersenyum, tiba-tiba sakit di dadanya kembali menyeruak membuatnya merintih hebat.
“AW! Astagfirullah! Sa—sakit Ya Allah ….”
Dengan cekatan, Raka menekan tombol darurat untuk memanggil Dokter.
Nara melemah, tubuhnya seolah terhuyung ke belakang dengan keadaan antara sadar dan tidak. Khayla dan Lia jelas panik. Khayla dan Raka yang berada di samping kiri Nara sedangkan kedua orang tua Nara berada di samping kanan Nara membuat mereka membantu Nara sebisanya.
“Nar, Ya Allah … bertahan, Nar!” ujar Khayla tanpa menghentikan isakannya.
Raka memejamkan matanya perih guna menahan tangis yang ingin ditumpahkan.“Ra … hei jangan gini! Kamu harus sembuh!” lirih Raka seraya mengelus hijab yang dikenakan Nara.
Mata Nara terbuka perlahan tanpa memindahkan lengan di dadanya yang menahan sakit.
“Ka—kalian jangan nangis! Nara mau pergi, Nara mau tenang biar enggak sakit lagi, tapi kalian ja—jangan sedih! Nara yang harusnya sedih karena mau ninggalin orang-orang baik seperti ka—kalian,” lirih Nara dengan mata yang setengah terbuka.
“Na—Nara … AW! Nara … Nara mau pulang,” lirih Nara lagi membuat semuanya semakin terisak di tempat masing-masing.
Se-sakit itulah melihat orang yang kita sayang sakaratul maut di depan mata kita sendiri. Seperti Raka dan Lia contohnya. Mereka yang paling banyak tahu tentang Nara, tetapi mereka pula yang harus menyaksikan kepergian Nara menuju keabadian.
“Ra …,” lirih Raka membuat Nara menoleh lemah.
“Di sisa napasku, aku mau minta maaf sama kamu, Raka. Maaf dan terima kasih telah membawa istrimu untuk merubah Nara yang Raka kenal dulu.” Jantung Nara berdetak semakin lemah. EKG atau monitor detak jantung pun kian mengurang angka detak jantung serta garis yang semakin jelas menuju garis horizontal.
“Ba—bantu Nara, Ma, Pa, Diba, Rak. Bantu Na—Nara …,” lirih Nara.
Lia menggenggam lengan kanan Nara, sedangkan Khayla menggenggam lengan kiri Nara yang sudah terlepas dari dadanya.
“Ikuti mama, Nak!” ujar Lia. Khayla memalingkan wajahnya, ini pemandangan terburuk yang pernah ia lihat seumur hidupnya.
“Asyhadu an laa ilaaha illallah ….”
“Asyhadu an laa ilaaha illallah ….”
Deg. Jantung Nara berhenti berdetak bersamaan dengan garis EKG yang menunjukkan garis horizontal dan kedua lengannya yang terlepas dari genggaman kedua wanita hebat itu.
“NARA!!!” teriak panjang Lia dan Davin.
Dokter yangs sedari tadi Raka panggil dengan tombol darurat baru datang setelah garis horizontal itu menampakkan diri.“Inna lillahi wainna ilaihi rojiun,” kata Dokter bername tag Putra itu.
Khayla bangkit lemah dengan bantuan Raka tatkala Nara diselimuti oleh Dokter Putra. Raka lebih rapuh, tetapi ia tahu semua makhluk-Nya pasti akan kembali kepada-Nya.
Khayla memeluk erat Raka, berusaha saling menguatkan. Namun, di sisi lain Raka mengucap syukur karena gadis itu pergi setelah berhijrah.
“Nara, Mas, hiks … Nara udah pergi?” lirih Khayla di dada bidang Raka. Lelaki itu mengelus halus puncak kepala Khayla seraya menciumnya lembut dengan air mata yang terus mengalir.
“Doakan Nara, ya! Agar ia tenang di sana,” ujar Davin yang hanya berusaha kuat.
Ayah mana yang tak rapuh ketika putri kesayangannya pergi mendahuluinya? Padahal, sudah berbagai cara ia mengobati Nara. Namun, nyatanya takdir Allah tidak bisa ditentang dengan sejauh mana kita mencari pengobatan.
***
“Ini foto pertama dan terakhir kita bersama Nara, Mas,” ujar Khayla saat melihat bingkai fotonya, Nara dan Raka saat di rumah sakit sehari sebelum Nara pergi.
Sejak hari itu … kehidupan mereka seolah semakin cepat. Namun, Nara akan selalu terkenang untuk Raka dan Khayla, terlebih lagi bagi Raka yang membantunya agar mau berhijrah atas bimbingan Khayla.Raka mengambil lengan kanan Khayla. Cup. Ia mengecup lengan itu lembut membuat Khayla tersentak. Apa lagi, tatapan manisnya yang seolah membunuh Khayla tanpa darah.
“Nara sudah pergi, Diba. Tugas Nara di dunia ini sudah selesai, dia sudah menemukan orang yang buat dia berubah ke jalan Allah. Nara sudah menemukan jati dirinya sebelum ia pergi menuju janah-Nya,” ujar Raka.
“Dan tugas kita sekarang adalah ….” Raka tersenyum miring dengan tatapan yang tak kunjung terlepas.
“Bahagia bersama anak-anak kita kelak,” imbuh Raka.
---
Jangan lupa vote dan komennya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Zaujaty (SUDAH TERBIT)
ДуховныеPEMBELIAN NOVEL DEAR, ZAUJATY : Cek link di bio, tekan menu Novel Dear, Zaujaty atau bisa langsung ke WA-ku. - - "Bertemu denganmu adalah cara semesta memberi tahu bahwa ... tidak ada kisah yang berakhir sebelum pamit, kecuali atas nama takdir." -Ra...