- - -
"Dunia adalah penjara untuk orang beriman dan surga untuk orang kafir." (HR. Muslim)
--
-
"Bunda, Raka sudah bertemu Adiba," kata Raka saat melihat bundanya sedang menyiapkan sarapan."Lupakan saja anak itu! Tidak ada gunanya kamu memikirkannya." Deg.
Perkataan dari Ardian membuat Raka menoleh ke asal suara. Apa-apaan ini? Belasan tahun ia berjuang untuk menemukan, lalu setelah bertemu dengan mudah ayahnya menyuruhnya untuk melupakan.
Raka tersenyum miring. "Kenapa, Yah? Bukankah dulu keluarga mereka yang selalu bantu kita?" sarkas Raka mengingat bertapa baiknya keluarga Adiba, terutama saat keluarganya dalam keadaan terpuruk.
"Kamu akan ayah jodohkan setelah lulus SMA nanti." Deg. Jantung Raka berpacu lebih cepat tatkala mendengar perkataan dari sumber yang tak berekspresi itu.
Raka menatap sinis. "Buat apa Raka menikah hanya untuk kemajuan sebuah bisnis. Yah, dulu Ayah pernah bilang bahwa pernikahan itu bukan main-main. Raka mau menikah lilahi ta'ala, bukan karena paksaan hanya untuk menyelamatkan bisnis!" sarkas Raka sambil beranjak dari meja makan menuju tasnya di ruang keluarga.
Irlen menatap iba keluarganya yang diambang kehancuran. Suaminya yang dulu ... kini telah berubah tamak menjadi pengejar duniawi. Padahal, sebelum kebangkrutan itu suaminya selalu membimbingnya di jalan Allah.
"Astagfirullah," batin Irlen.
"Raka benar-benar gak ngerti lagi jalan pikir Ayah! Ayah bukan Ayah yang Raka kenal!!!" geram Raka sambil menatapnya sinis seraya mencium tangan bundanya.
Brak! "Ini pasti kamu yang ngajarin, 'kan?!" bentak Ardian pada Irlen saat Raka baru saja beranjak. Irlen tertunduk dan hanya bisa pasrah.
"A—0aku tidak pernah mengajarkannya begitu, Mas," lirih Irlen, air matanya mendesak ingin diluruhkan.
"Halah! Siapa lagi kalau bukan kamu?! Lihat anak itu! Dia berani melawanku! Bahkan berani berbicara dengan nada tinggi."
Selalu seperti ini, Irlen yang akan menjadi pelampiasannya. Irlen sampai tak mengenali lagi suaminya itu. Dunia benar-benar berubah, seolah memenjarainya dalam sebuah sakit hati. Ia kehilangan banyak hal. Kehilangan keharmonisan keluarganya, kehilangan sifat suaminya yang dulu, kehilangan orang yang bisa menuntunnya ke jalan Allah.
Kehilangan itulah yang membuat Irlen berat hati, lebih berat daripada kehilangan seorang manusia. Namun, Irlen tak pernah mengeluh untuk mempertahankan keluarganya, karena ia tahu Allah paling tidak suka dengan sebuah perceraian.
"Sabarkan hamba Ya Allah, meskipun hamba tidak tahu sampai kapan hamba kuat, tapi dengan perlindungan-Mu, hamba yakin hamba kuat, Ya Rab ...."
---
"Raka!" panggil Reza membuat Andi pun ikut menoleh.
"Kenapa kusut gitu?" tanya Andi ketika Raka duduk di kursi kantin sebelahnya.
Raka menghela napas, memejamkan matanya sejenak sebelum menceritakan keluh kesahnya.
"Ayah gue berubah, dia kayak bukan ayah gue lagi," lirih Raka sambil menatap nanar ke arah depan.
Reza menepuk bahunya. "Enggak ada hidup yang selalu lurus, Raka. Bahu lo itu ...." Reza mengelus bahu Raka sebelum melanjutkan kalimatnya.
"Bahu lo itu kelak akan menanggung beban yang berat. Kalau lo kuat, lo akan tetap berdiri se-berat apa pun beban itu, tapi kalau lo gak kuat ... artinya lo akan jatuh. Namun, kalau lo jatuh dan masih mau bangkit, lo akan terus berusaha. Kalau lo jatuh dan ingin terus berada di titik itu, artinya lo menyerah. Gue tahu lo pasti ngerti ucapan gue," imbuh Reza. Raka menatap sahabatnya lama, kemudian ia tersenyum sebagaimana seharusnya.
"Gue harus kuat, demi bunda."
"Semua yang rusak memang sulit disatukan kembali. Namun, semua yang hilang bisa kembali jika kita mau mencarinya," ujar Andi menambahi.
"Seperti lo dan Adiba misalnya," imbuh Andi sambil terkekeh.
Seketika senyum Raka mengembang mengingat nama itu. "Hm, ngomong-ngomong dia katanya panitia sanlat buat minggu depan ya? Minggu pertama bulan Ramadan," kata Raka.
Andi mengangguk. "Iya, mau ikut? Sekalian tobat gitu," cibirnya.
Tak! Raka menjitak pelan kening Andi. "Niatnya yang bener atuh! Biar dapat hidayah misalnya," celetuk Raka, akhirnya ia bisa kembali tertawa dengan kedua sahabatnya.
Di sisi lain, seorang gadis yang tak masuk sekolah karena sakit akibat mengerjakan proposal untuk acara sanlat minggu depan. Semalam, Khayla mengerjakannya hingga jam satu malam. Sempat terlintas di pikirannya tentang Raka.
"Umi," panggil Khayla saat uminya membawakan bubur untuknya.
"Kenapa, Nak?" tanya Zahra sambil menaruh bubur itu di nakas.
"Maaf Diba banyak merepotkan Umi," ucap Khayla. Zahra mengernyit, dulu Khayla tak mau lagi dipanggil Adiba semenjak kehilangan Zidan, tetapi sekarang ia malah memanggil dirinya sendiri dengan nama itu.
Zahra duduk di kasur Khayla sambil mengusap kepalanya yang tertutup hijab. "Sayang, kamu tidak pernah merepotkan umi. Kamu adalah ... hadiah terindah dari-Nya. Khay, sudah kewajiban umi merawatmu, karena kasih sayang umi tidak akan hilang sampai Allah memanggil umi kelak. Malah, umi akan sedih ketika kamu tidak mau umi rawat." Khayla menangis haru mendengar penuturan bijak itu. Ia memeluk Zahra lama, sesekali Zahra mengecup permukaan wajahnya.
"Diba sudah bertemu Zidan, tapi nama dia bukan Zidan, Umi, Diba masih ragu kalau dia itu sahabat kecilnya Adiba," ujar Khayla yang akhirnya bisa jujur.
Zahra tersenyum. "Itu bukan hal yang sulit, sayang. Kamu bawa lelaki itu ke hadapan umi, kalau dia mengenali umi ... artinya dia benar sahabatmu," ujar Zahra. Khayla mengangguk sambil tersenyum.
"Gapapa 'kan kalau Diba undang dia untuk bertemu Umi?" tanya Khayla.
"Asalkan kamu tidak hanya berdua dengannya dan tetap umi dampingi, tentu saja tidak masalah."
-
-
-
Next part akan ada kebaperan yang wow! Siapkan hati kalian! ♡♡
Jangan lupa vote, komen dan share cerita ini, yaa^^
Thank you,
Dinda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Zaujaty (SUDAH TERBIT)
SpiritualPEMBELIAN NOVEL DEAR, ZAUJATY : Cek link di bio, tekan menu Novel Dear, Zaujaty atau bisa langsung ke WA-ku. - - "Bertemu denganmu adalah cara semesta memberi tahu bahwa ... tidak ada kisah yang berakhir sebelum pamit, kecuali atas nama takdir." -Ra...