DMZ | 15. Sebuah Bukti

4.2K 480 40
                                    

Sesuai ucapan Nizam, Raka keluar dari rumah besar itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sesuai ucapan Nizam, Raka keluar dari rumah besar itu. Di sini Raka berada, di halaman rumah besar dengan langit-langit yang sudah mulai mendung. Raka tak mau beranjak, alasannya … ia datang bersama Khayla, ia pulang pun harus bersama gadis itu.

“Abi kenapa kayak gini?! Hiks … niat Zidan ‘kan baik,” lirih Khayla. Gadis itu masih di dalam, lebih tepatnya dilarang menyusul Raka.

Nizam terkekeh dengan perilaku Khayla yang sangat khawatir.

“Siapa suruh dia melamar anak abi tanpa sepengetahuan abi,” sarkas Nizam.

“Abi, ih! Kan di sana juga ada bang Farel sama umi,” jawab Khayla.

Gleger … dres ….

Rintik hujan mengguyur Raka yang malas beranjak. Ia masih di tempat yang sama. Khayla menyadari turunnya hujan, ia melihat ke arah luar lewat jendela. Bertepatan dengan Raka yang menatap ke arah jendela sambil tersenyum manis meskipun di bawah guyuran hujan.

“Masyaallah, Zidan,” gumam Khayla lirih.

“Abi! Abi kenapa tega banget sama Zidan?! Abi gak pengin Khay bahagia?! Hiks … Abi tega,” cicit Khayla seraya membalikkan tubuhnya menghadap abinya.

Nizam terkekeh, ia merentangkan tangannya guna menyambut Khayla yang ingin memeluknya. Tentu saja Khayla menerima rentangan tangan itu, ia memeluk hangat seraya menangis dalam dekapan itu.

“Sayang, dengarin abi! Kamu tahu apa itu perjuangan?” ucap Nizam, Khayla mengangguk, mengingat perkataan Nizam dulu.

“Perjuangan adalah usaha yang disertai bukti,” kata Khayla.

“Nah, itu kamu tahu. Yang perlu kamu tahu, abi enggak akan menyerahkanmu pada sembarang lelaki untuk menggantikan abi dan bang Farel yang bertugas menjagamu. Abi akan menyerahkanmu pada lelaki yang bertanggung jawab, bisa memberikan bukti dan tidak mudah menyerah,” jelas Nizam.

“Ma—maksud Abi?” tanya Khayla belum sepenuhnya paham.

“Kamu lihat Zidan? Dia bertahan di sana meskipun di luar hujan deras. Itu artinya, Zidan lelaki baik, Nak, dia pantas untuk menjadi suamimu.” Khayla benar-benar tersentak. Nizam ternyata punya rencana lain di atas kekhawatirannya.

“Ja—jadi … A—Abi merestui?” tanya Khayla gemetar.

“Tentu saja, Nak, abi tidak akan mempersulit suatu kebaikan.”

“Gih, sana samperin Zidan-nya! Suruh ganti pakaian.” Detik itu juga Khayla mengangguk. Sebelumnya ia kembali menangis dalam dekapan Nizam.

“Makasih banyak, Abi. Khay ... sayang Abi,” ujar Khayla. Ia langsung beranjak untuk mengambil payung dan handuk untuk Raka.

Raka, lelaki itu memilih duduk di halaman rumah besar yang luas itu. Ia membelakangi rumah Nizam. Tanpa mau beranjak, ia malah tersenyum membayangkan masa kecilnya bersama Khayla. Tak peduli dengan seberapa banyak rintik hujan yang membasahi tubuhnya, Raka benar-benar tak ingin beranjak. Sampai ia merasa janggal, ia tak kehujanan karena sebuah payung menghalanginya. Gadis pemegang payung itu tersenyum saat Raka melihatnya, dengan cepat Raka pun berdiri menyeimbangi gadis yang jauh lebih pendek darinya.

“Diba?! Kok di sini? Sana masuk!” suruh Raka.

Adiba tak menjawab, ia malah memberikan handuk hingga menciptakan kontak mata singkat di keduanya. Khayla-lah yang memutuskan kontak mata itu karena mengingat mereka belum sah.

“Yuk masuk! Biar nanti abi yang jelasin. Zidan ganti baju dulu, ya? Sudah abi siapkan,” ujar Khayla. Zidan tersenyum dan mengangguk.

“Terima kasih, Diba.”

***

“Saya memang bukan lelaki baik, Zidan, tapi putri saya satu-satunya berhak bahagia,” ujar Nizam. Ia sedang berbicara empat mata dengan Raka, sedangkan Khayla disuruh menunggu di kamar tamu oleh Nizam.

“Insyaallah saya akan membahagiakan Adiba semampu saya, Abi. Abi jangan khawatir, saya sudah memiliki pekerjaan,” ujar Raka.

Nizam terkekeh. “Bukan itu yang saya minta.”

“Lantas, apa itu, Abi?”

“Bekali dia dengan ilmu agama, bimbing dia menuju surga-Nya, giring dia agar selalu di jalan-Nya, bantu dia untuk menjadi istri yang baik untukmu,” ujar Nizam.

“Satu lagi … buat dia merasa spesial di hatimu!” Deg. Bagai tersayat, Raka ingin menangis hari detik itu juga. Menurutnya, permintaan Nizam bukanlah hal yang sulit.

“Zidan bisa memenuhi keempat hal itu. Namun, apa Abi tahu bagaimana cara menspesialkan Adiba?” tanya Raka.

Nizam tersenyum, ini yang ia tunggu, Raka yang meminta pendapatnya. Nizam membisikkan sesuatu pada Raka, entah Raka memenuhinya atau tidak … yang penting ia sudah memberi saran.

“Bismillah. Baik, Abi, Zidan akan menyanggupi. Mohon doanya, Abi.” Nizam mengangguk lalu memeluk Zidan.

“Saya tidak menyangka putri saya bisa jatuh ke tanganmu, Zidan. Jaga dia baik-baik, ya! Dia berlian paling berharga yang saya dan Farel punya. Dia titipan Allah yang paling indah untuk kami semua. Saya mohon, jangan pernah sakiti dan kecewakan Khayla!” pesan Nizam sebelum melepaskan pelukannya.

“Atas seiizin Allah, Zidan bersedia menjaga dan menyayangi Adiba lebih dari kasih sayang yang abi berikan.”

“Masyaallah, Nak, kamu memang lelaki baik.”

“Abi panggil Khayla dulu, ya,” imbuh Nizam, Raka mengangguk.

Khayla sudah bergabung di tengah mereka sekarang. Gadis itu hanya bisa menunduk menunggu siapa yang akan membuka suara.

“Jadi, kapan kalian akan menikah?” Deg. Khayla benar-benar tidak menyangka dengan pertanyaan ini.

“Insyaallah tiga minggu lagi, Abi. Umi dan bunda sudah mempersiapkan semuanya,” jawab Raka.

Baru terlintas di benaknya bahwa Zidan yang ia kenal adalah putra Ardian.

“Bagaimana dengan ayahmu?” Raka tak bisa menjawab. Lidahnya kelu saat itu juga. Entahlah, jika menyangkut ayahnya ia akan mudah sakit.

“Ayah … hm, ayah mungkin perlu waktu, Abi.” Nizam terkekeh mendengar jawaban Raka, ia sudah menerka bagaimana watak Ardian yang sebenarnya.

“Baiklah, abi akan datang untuk menjadi walimu, sayang,” ucap Nizam pada Khayla. Detik itu juga Khayla menangis dan langsung memeluk abinya.

“Terima kasih, Abi, hiks … Khay kira Abi akan melarang Khay karena menikah muda. Terima kasih banyak, Abi,” ujar Khayla. Isakan itu membuat Raka terenyuh, hatinya tersayat mendengar lirihan gadis itu.

“Abi akan selalu mendukung apa pun itu demi kebaikanmu, Nak. Abi tahu, tujuan Zidan ingin meminangmu pasti ingin terhindar dari zina. Lagi pun, abi tidak melarang kamu menikah di usia delapan belas tahun,” ujar Nizam.

Raka berdeham, ia ingin berbicara serius di atas keharuan hari ini.

“Abi, sebelumnya Zidan berterima kasih banyak atas restu dan pelajaran yang Abi berikan. Zidan memang bukan lelaki yang sempurna, Zidan banyak kekurangan, bahkan Diba-lah dulu yang menutupi kekurangan itu. Abi, Zidan bukan orang besar. Tekad Zidan untuk meminang Adiba karena rasa yang Zidan miliki sejak kecil tidak berubah, Abi. Zidan tidak bisa menunda lama karena takut berakhir zina. Bismillah, dengan seizin Allah, Zidan ingin meminang putri Abi, Khayla Adiba Syahla. Untuk menjadi pelengkap kekurangan Zidan, untuk menjadi pasangan Zidan menuju surga-Nya dan untuk … menjadikannya zaujati Zidan.”

-
-
-

Yuhuu ada yang enggak baper?? :v

Jangan lupa vote, komen dan share yaaa!!

Dear, Zaujaty (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang