DMZ | 12. Planning

4.3K 506 56
                                    

"Jika kita tidak bisa menandingi ucapan mereka, maka tutuplah telinga dan mata kita! Jika masih terdengar, pinjam alas untuk bersujud

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jika kita tidak bisa menandingi ucapan mereka, maka tutuplah telinga dan mata kita! Jika masih terdengar, pinjam alas untuk bersujud ... agar selalu mengingat-Nya."

-Dinda Nur Oktavia.

- - -

"Masyaallah, Khayla! Enggak nyangka besok kita udah pelulusan!!" teriak Zahwa di seberang telepon bersama Erika dan Khayla. Khayla tersenyum, sejak kejadian sanlat satu bulan lalu membuatnya lebih dekat dengan Zahwa.

"Kalian mau lanjut ke mana?" tanya Erika.

"Aku pengin ke UI," kata Zahwa. Erika menaikkan alisnya, seolah bertanya jawaban Khayla.

"Kata umi ada yang mau melamarku," cicit Khayla sambil mengulum senyumnya, tetap indah dengan lesung pipinya.

"Astaga! Sahabat kita udah mau ngeduluin aja, Wa?!" pekik Erika sambil terkekeh.

"Ta—tapi ... aku juga mau kuliah, aku 'kan baru delapan belas tahun," ucap Khayla.

"Khay ... usia itu bukan patokan untuk menikah, yang terpenting niat kalian baik. Aku tahu gimana Raka, dia aslinya memang baik kok. Khay, kalau Raka sudah mengajak kamu memenuhi separuh agamanya. Bukannya dengan begitu kalian bisa terbebas dari zina? Apa lagi Raka udah sayang sama kamu sejak kecil," ujar Zahwa, Erika mengangguk sambil tersenyum.

"Ta—tapi ... aku malu," cicit Khayla lagi.

"Apa yang perlu dibuat malu? Raka udah mau sembilan belas tahun, dia juga udah mulai usaha sejak kelas sebelas, kalian juga menikah bukan karena sebuah kesalahan, lantas apa yang buat kamu malu?" ujar Zahwa, berusaha meyakinkan Khayla dengan keputusan gadis itu kelak.

"Aku takut dengan cibiran tetangga nanti, takut umi yang dibuat malu." Erika benar-benar ingin angkat bicara kali ii.

"Khay-Khay! Tutup aja kuping kamu biar gak dengar! Kalau masih terdengar, pinjam tangan Raka buat tutup kuping kamu." Detik itu juga, ketiganya tersenyum bersamaan.

"Bismillah, aku gak akan ragu lagi."

***

"Bunda, Raka boleh menikah muda?" Deg. Irlen bagai terkena serangan jantung mendengar perkataan Raka. Bagaimana tidak ... putranya kini sudah tumbuh dewasa tanpa ia sadari.

Mata Irlen berlinang, ia langsung memeluk Raka detik itu juga.

"Kamu sudah yakin dengan keputusanmu, Nak?" tanya Irlen parau.

Raka tersenyum sambil mengecup pipi Irlen. "Insyaallah. Raka yakin, Bud."

"Masyaallah, Raka ... padahal baru kemarin bunda sibuk omelin kamu karena nangisin Adiba terus," kekeh Irlen, Raka pun ikut terkekeh.

"Jadi, siapa yang akan menjadi calonmu, Nak?" tanya Irlen.

Raka tersenyum sebelum menyebutkan nama itu. Dalam hatinya mengucapkan basmallah untuk meyakinkan. "Adiba, Bund."

Dear, Zaujaty (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang